Keberanian masyarakat kabupaten Pati, Jawa Timur dalam “melawan” Bupati, menandakan sikap yang benar, sesuai prinsip negara hukum (dan demokrasi). Bangsa Indonesia sudah Merdeka. Serta memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Bahkan konstitusi UUD pasal 1 ayat (2), menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Nyata-nyata terdapat frasa kata, “Kedaulatan berada di tangan rakyat.” Bukan di tangan pejabat.
Maka diperlukan ke-negarawanan segenap penyelenggara negara, pada saat perekonomian global tidak menentu. Perekonomian nasional niscaya bakal “terseret” pada dua poros besar. Yakni, efek tarif Trump, serta gerakan ekonomi BRICS. Segenap pejabat seyogianya membawa partisipasi masyarakat ke arah kemakmuran bersama. Harus menjauhi kebijakan “semau gue,” mumpung berkuasa (dalam jabatan publik). Karena rakyat bisa marah kepada pejabat, sampai menjatuhkan pangkat (dan martabat) pejabat.
Perlawanan akan menjadi inspirasi yang meng-ilhami rakyat di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Terbukti demo rakyat Pati disokong berbagai masyarakat dari daerah tetangga. Donasi berdatangan pula dari Surabaya, Solo, Yogya, Bandung, sampai Palembang. Eloknya, koordinasi donasi tidak menerima bantuan uang! Sehingga masa pendemo benar-benar “Merdeka” dari fitnah keuangan. Demo rakyat Pati, murni. Tidak ditunggangi, dan tidak dibayar.
Kemerdekaan berserikat, dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, juga dijamin konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 28. Bahkan jaminan yang sama diulang lagi pada pasal 28E ayat (3). Dinyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tidak ada yang bisa meng-intimidasi rakyat Indonesia untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Termasuk pejabat publik (DPR, Menteri serta Gubernur, dan Bupati) tidak ber-hak membendung aspirasi rakyat.
Maka unjukrasa rakyat Pati, bisa dilakukan oleh rakyat di daerah lain. Dengan maksud yang sama, mengoreksi kebijakan pemerintah daerah yang dianggap menyengsarakan rakyat. Bisa terjadi di Cirebon, Jawa Barat, yang juga melonjakkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bisa pula di Jombang, Jawa Timur, konon pelonjakan pajak sampai seribu persen! Serta di Bone, Sulawesi Selatan, mematok kenaikan PBB sampai 300%.
Segenap pejabat publik, terutama Kepala Daerah, patut waspada terhadap kinerja staf. Kenaikan PBB, niscaya bukan sekadar ide Kepala Daerah. Melainkan ide, dan “proposal” dari staf, terutama eselon II. Kepala Daerah (Gubernur serta Bupati dan Walikota) bisa terjerumus dalam “Jebakan Batman.” Bahkan bisa berakhir tragis, menjalani persidangan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Seperti Bupati Pati, Sudewo, bakal menghadapi Pengadilan Tipikor, dalam kasus pembangunan jalur kereta-api.
Nasib tragis Bupati Sudewo, patut menjadi perenungan Kepala Daerah lain. Terutama pola komunikasi dengan masyarakat. Kepala Daerah bukan juragan rakyat. Bahkan sebaliknya rakyat sebagai juragan. Sehingga setiap kebijakan bukan sekadar ditakar dengan undang-undang (UU). Melainkan juga wajib mempertimbangkan etika, dan sense of crisis. Seperti terjadi di kabupaten Pati, kebijakan Bupati terasa melukai perasaan rakyat.
Keadaan (sosial ekonomi) masyarakat Pati, dalam keadaan tidak baik-baik saja. Garis kemiskinan Pati masih di bawah rata-rata nasional. Begitu pula jumlah penduduk miskin juga melebihi rata-rata nasional. Pati, juga masih dilanda banjir pada musim penghujan. Artinya perlu perbaikan infrastruktur masif. Tetapi PBB-P2 malah dinaikkan 250%. Sampai terjadi demo besar segenap rakyat, untuk memakzulkan Bupati.
Memperingati 80 tahun Kemerdekaan Indonesia, sekaligus era keterbukaan informaasi, rakyat “berani” melawan peraturan yang dianggap menyengsarakan. Pemerintah (dan pemerintah daerah) patut waspada ke-nekat-an rakyat, yang bisa memboikot pajak. Serta me-lengser-kan pejabat.
——— 000 ———


