Akademisi (Untag Surabaya, Supangat, Ph.D.
Surabaya, Bhirawa
Ramai-ramai kibarkan bendera One Piece, karakter bajak laut dalam animasi Jepang menjelang HUT RI ke-80 disorot berbagai pihak.
Sebab, hari kemerdekaan yang diperingati dengan pengibaran bendera Merah Putih selama sebulan penuh pada bulan Agustus, justru dihiasi pengibaran bendera One Piece. bahkan di beberapa tempat tampak lebih mencolok, dari Sang Saka Merah Putih
Menurut Akademisi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, fenomena ini jelas lebih dari sekadar tren atau budaya pop.
Ia menilai, perilaku ini mencerminkan pergeseran cara generasi muda, memaknai simbol perjuangan.
“Sayangnya, di balik kreativitas itu, ada yang terasa getir yaitu nasionalisme perlahan terdorong ke pinggir oleh narasi fiksi, algoritma media sosial, dan kegandrungan akan viralitas,” ujar Supangat, Minggu (10/8).
Dosen Sistem dan Teknologi Informasi (Sistekin) menyadari bahwa generasi Z ingin mengekspresikan diri. Namun ada garis batas yang tidak boleh dilanggar, Merah Putih bukan simbol yang bisa disandingkan sembarangan. Supangat menegaskan bahwa Merah Putih bukan properti visual yang boleh dikerdilkan di tengah euforia digital.
“Ketika bendera fiksi dikibarkan sejajar dengan lambang negara, bahkan dijadikan alat sindiran terhadap kondisi sosial, ini bukan lagi sekadar ekspresi. Ini adalah bentuk pergeseran makna yang bisa berujung pada pengaburan nilai. Kritik sosial boleh, sindiran boleh, tapi jangan sampai nyawa simbol negara dimatikan di tengah panggung konten trending,” jelasnya.
Sebagai Pakar Sistem Informasi, Supangat menambahkan bahwa tren ini tidak bisa dilepaskan dari peran algoritma dan sistem digital yang kini menjadi tangan tak terlihat dalam membentuk opini publik. Di media sosial, contohnya, yang viral bukan yang bernilai, tapi yang memancing emosi dan perhatian.
Menurutnya bendera anime bisa jadi lebih masif penyebarannya dibandingkan Merah Putih karena masuk dalam pola konsumsi digital.
Sistem rekomendasi yang digunakan platform saat ini cenderung menerapkan pendekatan content-based filtering, yang mengulang dan memperkuat preferensi pengguna tanpa memberi ruang pada konten yang edukatif atau bernilai kebangsaan.
“Di ruang virtual yang dibentuk oleh AI dan tren, identitas bangsa kita bisa kehilangan jangkar jika masyarakat tak cukup literasi dan sadar akan pengaruh teknologi. Tanpa edukasi, masyarakat mudah tergiring arus, tanpa menyaring makna,” sebutnya.
Karenanya, Supangat berpendapat dalam menguasai perkembangan teknologi, Merah Putih harus hidup, tidak hanya di tiang bendera, tapi juga di platform digital.
Pemerintah, institusi pendidikan, kreator konten, bahkan pengembang teknologi perlu bersinergi untuk menciptakan kampanye digital. Misalnya dengan memanfaatkan augmented reality, filter sosial media, komik daring, game, dan interaksi virtual yang bermakna untuk menyuntikkan semangat nasionalisme.
“Kita juga memerlukan dashboard digital nasional yang bisa memantau dan menganalisis tren konten berbasis kebangsaan. Dashboard ini berfungsi untuk mendeteksi konten yang berpotensi melemahkan identitas nasional, sekaligus menjadi alat bantu perumusan kebijakan edukatif berbasis data. Inilah pemanfaatan teknologi yang bukan hanya canggih, tapi juga strategis secara ideologis,” pungkasnya.n [ina.dre]


