Lama tidak terdengar penangkapan pelaku judi online (judol). Padahal peberantasan judol menjadi prioritas pemerintah, melalui Menko Polkam dan Kapolri. Judol menjadi sorotan utama kinerja pemerintah Prabowo Subianto. Tetapi seolah-olah hanya gebrakan awal (100 hari pertama). Selanjutnya sepi. Namun tiba-tiba Polda DIY (Daerah Istimewa Yogya) menangkap lima orang yang “merugikan bandar.” Viral di media sosial, pelapornya tak lain, bandar yang dirugikan.
Yang mengetahui bandar merugi, tak lain hanya bandar. Sehingga benar dugaan netizen, bahwa bandar judol masih bebas. Sudah dibantah Polisi, bahwa informasi (laporan) bukan berasal dari bandar, tetapi dari masyarakat. Namun bantahan Polisi tidak cukup, karena Polri wajib profesional, segera tangkap bandar judol. Jika gagal, maka petinggi Polri (Kapolri) bisa bertindak menyelidiki ke dalam (internal affairs). Bukan mustahil, karena sudah sering terjadi.
Misalnya dalam kasus narkoba, yang melibatkan Perwira Tinggi Bintang dua. Serta yang paling seru, pembunuhan berencana Polisi pada Polisi. Melibatkan Perwira Tinggi, Perwira Menengah, serta banyak perwira, dan Bintara Polri. Belum lama telah terbongkar internal affairs Polri yang menghebohkan. Seolah-olah “aman” di dalam negeri, tetapi videonya malah bocor di luar negeri. Kasusnya terbongkar dari Australia. Terbukti melakukan perbuatan seks menyimpang, dengan gadis di bawah umur! Sekaligus mengkonsumsi narkoba.
Tidak boleh terjadi internal affairs pada judol. Pemerintah bersama DPR-RI telah sepakat, seantero Indonesia telah berstatus “Darurat Bencana Judol.” Juga sudah merasuk ke segala lini tempat, tak pandang usia. Lebih seratus ribu anak (usia dibawah 11 tahun), dan remaja (di bawah 17 tahun) ber-transaksi judi online. Bahkan berdasar informasi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan, sebanyak 97 ribu personel TNI dan Polri, juga main judol.
Menurut penjejakan Menko Polkam, (juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara), pemerintah memiliki catatan yang miris terhadap judol. Diantaranya, keterlibatan sebanyak 1,8 juta orang pegawai swasta telah biasa main judol. Serta sebanyak 80 ribu anak di bawah umur 10 tahun diduga telah terpapar permainan judol. Sejak pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo, sebanyak 380 ribu website yang mempromosikan judol, sudah digembok (tutup).
Nyaris tiada lagi ruang yang melindungi judol, setelah TNI membentuk Satgas khusus. Satagas-sus, menangani TNI dan Polri nakal. melibatkan personel Perwira Tinggi antar-matra. Juga terdapat Sub Satgas judi online, dipimpin Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) TNI Perwira Bintang satu. Judol tidak boleh dianggap remeh sebagai permainan. Melainkan sebagai bisnis haram, lintas negara. Yang terbaru, jaringan judi online berentetan risiko dengan pinjaman online.
Realitanya, pelaku judi online (judol) yang kalah selalu berhutang pada pinjaman online (pinjol). Banyak yang bermasalah, tidak mampu membayar pinjol, memicu kriminalitas baru berupa kejahatan dengan kekerasan, (Jatantras). Sehingga saat ini terdapat tiga tindak pidana sekaligus yang saling berantai, yakni, judol, pinjol, dan jatantras. Ironisnya, banyak judol, dan pinjol, bagai “gerakan bawah tanah.” Walau mudah terlihat, namun sulit ditangkap.
Penegakan hukum terhadap judol, masih belum pernah menghukum bandar gede dengan hukuman maksimal. Yakni, ancaman UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua terhadap UU ITE, memiliki ancaman paling berat. Pada pasal 45 ayat (3), dinyatakan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 milyar.
Tetapi karena memiliki daya rusak sosial yang sangat besar, diperlukan vonis pemberatan (berkait TPPU). Majelis hakim (terutama pada Tingkat Kasasi) bisa me-miskin-kan bandar bandar judol.
——— 000 ———


