Oleh :
Dr. Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Universitas Slamet Riyadi Surakarta (Unisri) Surakarta
Opini – Belakangan ini, media sosial ramai dengan video-video orang tua yang memarahi, membentak, bahkan mempermalukan anak-anaknya di depan kamera. Ironisnya, banyak dari video tersebut justru diunggah sendiri oleh sang orang tua yang lengkap dengan caption seperti “biar netizen yang menilai” atau “buat pelajaran supaya anak kapok.”
Fenomena ini menggambarkan kegelisahan baru dalam dunia pengasuhan dimana: saat parenting berubah menjadi panggung drama digital.
Awalnya mungkin dianggap lucu, spontan, atau edukatif. Namun lama-lama, konten semacam itu menjamur menjadi bentuk nyata dari eksploitasi psikologis yang menjadikan anak sebagai objek tontonan publik, bukan hanya sebagai subjek pendidikan. Padahal, anak-anak sendiri belum memiliki kapasitas untuk menyetujui eksposur digital seperti itu. Apalagi, pada dunia internet tidak pernah lupa serta akan meninggalkan jejak digital seumur hidup. Sekali diunggah, rekaman bisa dibagikan tanpa batas waktu dan ruang.
Penelitian terbaru yang dirilis oleh Sapien Labs pada tahun 2025 menyatakan bahwa anak yang terpapar media sosial sebelum usia 13 tahun lebih rentan mengalami gangguan psikologis dengan dimulai dari kecemasan, gangguan tidur, hingga kecenderungan menarik diri dari lingkungan. Angka hasil penelitian yang sangat mengejutkan, mengingat kini banyak anak sudah “viral” bahkan sejak belum bisa membaca.
Di sisi lain, praktik yang dikenal sebagai sharenting disaat orang tua membagikan konten anak tanpa persetujuan juga kian marak. Survei tahun pada tahun 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen remaja merasa tidak nyaman dengan jejak digital yang dibuat oleh orang tuanya sejak kecil. Banyak yang mengaku malu, terganggu, bahkan menjauh dari keluarga karena masalah ini.
Bisa dibayangkan, seorang anak kecil yang hari ini menangis karena dijewer oleh orang tuanya lalu videonya viral, mungkin kelak akan tumbuh dengan trauma, rasa rendah diri, bahkan kemarahan tersembunyi pada diri mereka. Dan semuanya terjadi karena momen yang seharusnya menjadi pembelajaran privat justru dibuka menjadi drama publik.
Pertanyaannya: mengapa hal ini terus terjadi?
Jawabannya mungkin terletak pada kehausan sebagian orang tua akan validasi sosial dan aktualisasi diri. “Anak harus disiplin,” katanya. Tapi yang dicari justru likes dan komentar. Tak heran jika parenting hari ini terbelah antara yang sungguh – sungguh mendidik dan yang sekadar mencari perhatian.
Di sisi lain, belum semua orang tua memiliki akses ke pengetahuan pengasuhan yang sehat. Banyak yang masih memegang pola lama keras, tanpa ruang dialog mereka karena mengira itulah cara terbaik mendidik anak. Padahal, ilmu psikologi modern telah lama menunjukkan bahwa pendekatan positif dan penuh empati jauh lebih efektif membentuk karakter anak yang tangguh dan berdaya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, orang tua perlu menyadari bahwa anak adalah individu utuh yang punya hak atas rasa aman, harga diri, dan privasi. Kamera seharusnya tidak menjadi alat kontrol. Bila marah, selesaikan di ruang privat, bukan di depan jutaan pasang mata.
Kedua, perlu ada edukasi parenting berbasis bukti yang lebih luas baik melalui sekolah, komunitas, maupun platform digital yang benar-benar peduli pada keselamatan anak. Kampanye publik juga harus mulai menyinggung bahaya konten viral yang merusak psikologis anak.
Ketiga, pemerintah dan platform media sosial sebaiknya bersinergi dalam mengatur konten anak. Aturan seperti batas usia minimal, persetujuan eksplisit, dan pelaporan konten eksploitasi harus ditegakkan dengan serius.
Dan yang terakhir dan yang paling penting adalah mari kembalikan esensi dari parenting itu sendiri. Anak tidak butuh menjadi bintang konten. Mereka butuh didengar, dimengerti, dan dibimbing dengan kasih sayang.
Menjadi orang tua bukan berarti punya kuasa atas segalanya. Tapi punya tanggung jawab untuk menciptakan ruang tumbuh yang sehat, tenang, dan penuh cinta. Di luar kamera, jauh dari panggung drama. Dengan memberi contoh yang baik bagi anak, maka kelak anak akan mencontoh kepribadian dari kita.
———– *** ————-


