25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Penyakit Tak Kenal Libur: Musim Kemarau Picu Lonjakan Kasus Penyakit ?

Oleh:
Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang

Selama ini musim Penghujan dianggap Masyarakat terutama diwilayah Perkotaan sebagai musim yang membawa wabah penyakit seperti diare, disentri dan leptospirosis. Mayoritas Masyarakat beranggapan bahwa musim kemarau merupakan musim yang bebas dari penyakit dan musim ramah untuk bermain bagi anak.

Di tengah gambaran yang tampak ideal tersebut, ternyata tersimpan sebuah realita yang sering luput dari perhatian, yaitu terjadinya meningkatnya angka jumlah pasien yang berobat ke Puskesmas selama musim kemarau.

Fakta ini mungkin terdengar mengejutkan. Bukankah musim kemarau dianggap sebagai waktu paling aman dari penyakit? Tak ada banjir, tak ada genangan, dan seharusnya tak ada penyebaran penyakit. Namun, data dan pengalaman di lapangan justru berkata lain serta sebuah fenomena yang bertolak belakang.

Di Provinsi Sulawesi Barat, Dinas Kesehatan mencatat bahwa hingga bulan Juni 2025, terdapat 2.839 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang tercatat di fasilitas layanan kesehatan primer. Lonjakan ini bukan hanya terjadi di perkotaan saja, akan tetapi juga di daerah pedesaan. Kemudian diwilayah Lebak Banten, Dinas Kesehatan bahkan mengeluarkan imbauan khusus kepada masyarakat agar mewaspadai penyakit ISPA dan diare selama puncak musim kemarau.

Sebagai seorang tenaga pendidik dan praktisi kesehatan masyarakat, saya sempat melakukan kunjungan ke beberapa Puskesmas di wilayah Jawa Tengah pada pertengahan bulan Juli lalu. Di salah satu Puskesmas di daerah Karanganyar Jawa tengah, antrean pasien terlihat padat. Mayoritas pasien mengeluhkan batuk, sakit tenggorokan, dan kelelahan yang tak biasa. Beberapa orang tua membawa anak-anaknya yang mengalami diare, demam ringan, dan lemas karena kekurangan cairan.

Berita Terkait :  Oknum Pejabat ASN di Lingkungan Pemkab Malang Diduga Selingkuh

“Ini bukan hanya soal cuaca, Pak. Anak-anak di sini kadang minum teh manis terus, padahal panas luar biasa. Mereka enggan minum air putih,” kata salah satu Perawat yang berjaga. Ia menyebut bahwa banyak masyarakat yang tidak menyadari tanda-tanda awal dehidrasi, terutama pada anak dan lansia.

Cuaca panas ekstrem yang menyertai musim kemarau memang menjadi pemicu utama. Udara kering dan paparan panas membuat tubuh kehilangan cairan lebih cepat. Sayangnya, mekanisme haus pada lansia tidak seperti dengan sistem tubuh pada orang muda. Anak-anak pun lebih memilih minuman manis atau dingin, yang sebenarnya justru bisa memperparah dehidrasi ringan bila tidak disertai asupan air putih yang cukup adekuat.

Selain itu, musim kemarau membawa serta debu dan polusi udara yang tinggi. Lingkungan yang gersang dan ventilasi rumah yang buruk yang akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit pernapasan. Kombinasi faktor ini menciptakan ‘lingkaran penyakit’ yang berbahaya bagi kelompok rentan.

Sebuah studi terbaru pada tahun 2025 yang dilakukan di Puskesmas Punggava Tompe, Kabupaten Donggala, menunjukkan bahwa kasus diare mengalami pola musiman yang jelas dan cenderung stabil tinggi sepanjang musim kemarau.

Penelitian tersebut menggunakan metode forecasting ARIMA, hasil penelitian memproyeksikan bahwa lonjakan penyakit pencernaan akan terus terjadi bila tidak ada intervensi preventif yang tepat.

Musim kemarau, dengan segala masalah kenyamanannya, ternyata menyimpan risiko besar bagi kesehatan masyarakat. Namun ironisnya, banyak orang justru mengendurkan kewaspadaan di periode ini. Liburan sekolah dan suasana santai sering membuat masyarakat menunda kunjungan ke fasilitas kesehatan, padahal gejala awal sudah muncul.

Berita Terkait :  Dinkop UKM Jatim Serahkan Bantuan Alat Produksi, Tingkatkan Kapasitas Produksi BUMDes Bintang Jaya Sampang

Ketika kita berbicara tentang kesehatan masyarakat, pencegahan selalu lebih murah dan lebih mudah daripada pengobatan. Maka, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, edukasi publik harus digencarkan kembali, terutama soal pentingnya asupan cairan. Minum air putih minimal 8 gelas sehari bukan sekadar slogan, tapi kebutuhan biologis yang vital. Anak-anak sebaiknya dibiasakan membawa botol air ke mana pun mereka pergi, dan orang tua perlu memastikan mereka minum cukup, bahkan jika tidak merasa haus.

Kedua, peran Puskesmas harus lebih aktif, bukan hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi sebagai pusat penyuluhan dan penjagaan kesehatan komunitas. Program seperti “Puskesmas Keliling”, posyandu tematik, dan penyuluhan berbasis rumah ibadah atau sekolah perlu dihidupkan kembali dengan tema khusus musim kemarau.

Ketiga, kesiapan keluarga dalam menjaga anggota keluarganya harus ditingkatkan. Ventilasi rumah harus dijaga baik agar sirkulasi udara tetap segar, masker bisa digunakan saat debu tinggi, dan makanan disiapkan secara bersih dan higienis. Pemantauan kesehatan lansia juga sangat penting, terutama tekanan darah dan gejala dehidrasi ringan.

Akhirnya, kita semua perlu memahami bahwa penyakit tidak mengenal musim apapun itu, apalagi libur. Justru saat tubuh kita merasa baik-baik saja, di situlah potensi kelengahan terjadi. Musim kemarau memang membawa keceriaan, tetapi juga membawa tantangan kesehatan tersendiri.

Jangan sampai kita baru sadar ketika antrean panjang di ruang tunggu Puskesmas sudah jadi bukti. Mari jadikan musim ini sebagai momentum untuk hidup lebih sehat, lebih sadar, dan lebih peduli.

Berita Terkait :  Kemerdekaan Belum Tuntas Jika Rakyat Masih Sulit Berobat

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru