Surabaya, Bhirawa
Peran tradisi lokal Madura sebagai Upaya Mencegah Stunting dikupas Dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Dede Nasrullah dalam Ujian Terbuka Program Doktoral di Universitas Airlangga. Dalam disertasinya itu, Dede menyoroti masih tingginya angka stunting di Kabupaten Pamekasan yang mencapai 25,1 persen.
Menurutnya, penyebab stunting tidak hanya soal gizi dan akses layanan kesehatan, tapi juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan cara pandang masyarakat terhadap kehamilan. “Salah satu budaya yang masih diyakini masyarakat Madura adalah Pelet Betteng, yaitu pijat perut yang dilakukan pada ibu hamil. Ini bukan sekadar ritual, tapi bisa jadi jembatan untuk masuknya edukasi kesehatan kepada masyarakat,” ujar Dede usai Ujian Terbuka Doktor, Senin (14/7).
Pelet Betteng sendiri adalah tradisi yang biasa dilakukan pada usia kehamilan bulan keempat hingga ketujuh. Masyarakat percaya pijat ini dapat menjaga keselamatan janin hingga persalinan. Namun selama ini praktik tersebut lebih bersifat spiritual dan belum dimanfaatkan secara maksimal dalam pendekatan kesehatan modern.
Penelitian yang dilakukan Dede sejak Oktober 2023 hingga Mei 2025 ini melibatkan 286 ibu hamil di Pamekasan. Ia meneliti bagaimana sikap, niat, pengetahuan, dan dukungan sosial berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mencegah stunting.
“Kalau kita hanya bicara gizi tanpa memahami budaya, masyarakat tidak akan terbuka. Tapi jika pesan kesehatan disampaikan lewat tokoh adat atau dipadukan dengan tradisi yang sudah ada, hasilnya bisa jauh lebih efektif,” tegas Dede.
Dari hasil penelitiannya, Dede menemukan bahwa niat ibu hamil untuk mencegah stunting dipengaruhi banyak hal, mulai dari pengetahuan, kebiasaan, motivasi, hingga dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar.
Ia juga menyebut bahwa keterlibatan suami, orang tua, dan tokoh masyarakat punya peran besar dalam membentuk perilaku ibu selama masa kehamilan. “Banyak ibu muda yang belum paham pentingnya pemeriksaan rutin ke puskesmas atau asupan gizi. Mereka masih memegang pantangan yang belum tentu benar, dan ini tidak bisa diluruskan dengan cara memaksa. Kita harus masuk lewat cara yang mereka pahami dan percayai,” lanjutnya.
Menurut Dede, kunci dari percepatan penurunan angka stunting adalah dengan memadukan pendekatan medis dan budaya. Ia mendorong agar petugas kesehatan di lapangan mulai menjalin komunikasi lebih intensif dengan tokoh adat, dukun pijat, maupun tokoh agama yang punya pengaruh besar di masyarakat.
Penelitian ini mendapat apresiasi dari para penguji yang hadir dalam ujian terbuka. Selain memberikan kontribusi akademik, temuan ini juga dinilai sangat aplikatif untuk diterapkan dalam program-program kesehatan masyarakat di daerah dengan kearifan lokal yang kuat.
“Saya berharap hasil riset ini bisa membantu membuka mata semua pihak, bahwa budaya lokal itu bukan hambatan, tapi bisa jadi kekuatan dalam perubahan perilaku kesehatan,” pungkas Dede. [ina.wwn]


