26 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

SPMB dan Maladministrasi Pejabat Publik

Oleh:
Awalina Barokah
Dosen Prodi PGSD Universitas Pelita Bangsa Bekasi

Ombudsman RI perwakilan Jawa Barat menerima 15 laporan dugaan kecurangan pascapengumuman kelulusan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 tahap satu. Beberapa pekan lalu, maladministrasi SPMB juga muncul dari pejabat publik. Aksi tidak terpuji ini dilakukan oleh wakil ketua DPRD Banten dengan mengirimkan memo yang diduga berisi titipan calon siswa untuk masuk ke salah satu SMAN Cilegon. Insiden ini merupakan aib besar bagi dunia pendidikan di negeri ini.

SPMB yang diharapkan bersih dari intervensi pihak mana pun tercederai oleh ulah pejabat publik itu sendiri. DPRD yang notabene sebagai perumus dan penentu kebijakan, alih-alih menjadi protagonis untuk memastikan SPMB berlangsung adil dan transparan, justru malah menjadi antagonis yang ikut serta merontokkan marwah SPMB kali ini. Bagaimana perasaan mereka yang berjuang secara jujur di tengah peliknya proses SPMB?

Mekanisme SPMB tahun ini terkesan rumit dengan alur yang panjang telah menyita banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Berbagai dinamika persoalan dalam proses pendaftaran seperti salah input data, server yang lambat, ketidaksesuaian mata pelajaran lantaran peralihan dari Kurtilas ke Kurikulum Merdeka, serta kendala lainnya membuat calon siswa dan orang tua frustasi menghadapi kondisi ini.

Calon siswa harus menyelesaikan serangkaian proses pendaftaran mulai dari pengajuan dan verifikasi akun, aktivasi token, pengisian data dan dokumen, pemilihan sekolah, cetak bukti pendaftaran, hingga pemantauan hasil seleksi. Di samping itu, bagi siswa yang mendaftar melalui jalur prestasi mereka harus mengikuti serangkaian tes yang akan menentukan kelulusan. Mereka berjuang lahir dan batin demi meraih sekolah negeri yang diidam-idamkan.

Berita Terkait :  KONI Jatim Pastikan Tuan Rumah Siap Gelar Porprov IX Jatim

Namun, di tengah hiruk-pikuk kerumitan SPMB, tiba-tiba dengan entengnya, seorang pejabat bergelar Doktor dan Haji, bermodalkan privilese dan kuasa, menitipkan calon siswa ke salah satu sekolah agar diloloskan. Mereka tak lagi peduli dengan kenyataan bahwa di pojok-pojok rumah kecil jauh di sana ada siswa lain yang harap-harap cemas, khawatir, dan menangis menanti pengumuman kelulusan.

Betapa perihnya hati calon siswa dan orang tua menyaksikan drama manipulatif ini. Tindakan culas semacam ini telah memperlebar tabir kebobrokan sistem pendidikan di negeri ini. Aksi curang kerap kali dilakukan oleh mereka yang merasa memiliki superioritas dan kebal hukum.

Motif Maladministrasi
Kasus di atas mengindikasikan pejabat publik mudah terjebak pada tindakan maladministrasi. Mereka seringkali memosisikan diri sebagai penguasa, bukan pelayan publik yang baik. Mereka merasa memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain di bawahnya sehingga berani melakukan kecurangan. Apa yang menyebabkan mereka terperangkap pada maladministrasi?.

Setidaknya ada beberapa motif. Pertama, kekuasaan. Mereka menganggap kekuasaan yang mereka miliki merupakan sesuatu yang prestise untuk dibanggakan. Akibatnya, mereka menggunakan power itu untuk merendahkan orang lain. Maka, hilanglah rasa empati kepada orang-orang sekitar, yang penting misi mulus dan lancar tanpa hambatan.

Kondisi semacam ini disebut dengan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Menurut Robert Klitgaard (1998) dalam bukunya “Controlling Corruption”, Abuse of power terjadi ketika kekuasaan yang dimiliki tidak digunakan untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan pribadi, nepotisme, bahkan penindasan.

Berita Terkait :  Pemkot Surabaya Percepat Sertifikasi Tanah Wakaf

Kedua, (menganggap) prestasi. Pejabat publik kerap mengklaim bahwa apa yang mereka peroleh saat ini adalah sebuah prestasi yang patut dijunjung. Klaim yang berlebihan seperti ini memantik sifat besar hati dengan menganggap dirinya paling hebat dibandingkan orang lain.

Ketiga, afiliasi. Kedekatan pejabat publik dengan para petinggi negeri menyebabkan mereka merasa tinggi hati. Hubungan ini membuat mereka ingin selalu dihormati dan disegani. Mereka beranggapan bahwa tak semua orang bisa berada pada posisi ini. Akhirnya, dengan kedekatan ini mereka merasa besar kepala, merendahkan orang lain, hingga lupa diri.

Keempat, materi. Pejabat publik memperoleh fasilitas, tunjangan, gaji, dan sumber pendapatan lain yang fantastis. Prestisius ini berimbas pada terbentuknya karakter yang ingin selalu dilayani. Individu yang merasa memiliki materi dan kekayaan yang lebih biasanya suka berlaku sesuka hati.

Maka dari itu, untuk meminimalisir tindakan culas oleh pejabat publik perlu upaya kolektif dari hulu hingga hilir. Penegak hukum harus berani memberikan sanksi yang tegas terhadap pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan. Guru dan panitia SPMB harus jujur, adil, dan tidak mudah terlena dengan tawaran menggiurkan dengan berbagai macam iming-iming dan ancaman dari pihak manapun.

Di sisi lain, perlu langkah preventif untuk memutus mata rantai sifat pejabat yang bertindak curang. Di negara yang menganut sistem demokrasi, tak ada cara lain kecuali berupaya bersama dalam memilih pejabat publik yang adil, amanah, dan berintegritas. Dengan demikian muruah dan kredibilitas sistem pendidikan di negeri ini tidak mudah dicederai.

Berita Terkait :  Hak Amnesti dan Abolisi

————– *** ——————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru