Oleh :
Ilovan Virgiano
Pemerhati dunia Pertambangan, dan kabar Internasional; bekerja di PT Berkat Anugerah Sejahtera (OSHE Officer)
Israel melakukan Operasi militer khusus dengan kode ”Rising Lion” pada 13 Juni 2025 kepada Iran dengan tujuan menghentikan atau memperlambat program Nuklir Iran, 200 pesawat militer Israel memasuki wilayah Iran untuk melakukan serangan udara ke beberapa fasilitas Nuklir Iran, Instalasi militer, beberapa kantor serta rumah beberapa komandan dan ilmuwan penting Iran. Selain kerugian material, Iran juga mengalami tekanan moral besar dengan gugurnya beberapa komandan dan ilmuwan nuklir penting Iran termasuk panglima militer Mohammad Bagheri dan Komandan IRGC Hossein Salami yang gugur akibat operasi militer Israel ini.
Adapun secara kerugian material dunia kini mengkhawatirkan perihal kerusakan terhadap beberapa fasilitas nuklir Iran seperti fasilitas nuklir Natanz yang merupakan pusat pengayaan uranium terbesar di Iran, kemudian pusat pengayaan uranium fordow dan reaktor riset dan pengembangan teknologi nuklir Isfahan juga turut menjadi target serangan udara Israel. Meskipun juru bicara Iran menyebutkan hanya terjadi kerusakan minor pada beberapa fasilitas Nuklir Iran yang menjadi target serangan udara Israel namun hal itu belum dapat dipastikan seluruhnya apakah tidak akan ada kontaminasi radiologi dan kimia yang akan bocor.
Konflik geopolitik Iran dan Israel sejatinya sudah terjadi cukup lama. Berawal pasca revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang secara terbuka Iran menolak keberadaan negara Israel. Adapun Iran sendiri juga mendukung dan membiayai kelompok-kelompok anti Israel di timur tengah seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, dan juga Houthi di Yaman. Sehingga menjadikan kelompok-kelompok anti Israel tersebut bagian dari proxy war berkepanjangan antara Iran dan Israel.
Timur Tengah akan selalu menjadi topik hangat bagi perkembangan dan dampak energi global. Hal ini dikarenakan 40% lebih dari cadangan minyak global berada di wilayah Timur tengah ini. Setiap konflik bersenjata di Timur Tengah selalu memiliki konsekuensi besar terhadap energi global khususnya minyak dunia.
Harga Minyak Dunia dan Gas Alam diprediksi akan terus melonjak tajam
Dalam konflik Israel dan Iran saat ini tentu akan memiliki konsekuensi ancaman serius bagi energi global. Hal ini tidak terlepas dari peran Iran yang merupakan salah satu produsen minyak dan gas terbesar di wilayah timur tengah dan juga lokasi geografis strategis Iran yang berada di dekat Selat Hormuz yang merupakan jalur strategis tempat 20 juta barel minyak per hari dikirim ke dunia. Kemudian di sisi Israel meskipun bukan sebagai negara dengan penghasil energi minyak dan gas terbesar di Timur Tengah. Namun sebagai titik kritis energi di sepanjang timur tengah karena lokasinya di dekat pelayaran Suez dan Mediterania Timur sehingga konflik apapun yang menimpa Israel sangat berpotensi menganggu aktivitas perdagangan dan lalu lintas energi ke eropa dari Timur tengah di jalur pelayaran ini.
Lebih jauh operasi militer yang dilakukan Israel kini telah mendapatkan respon balasan cepat dari Iran tidak lama setelah Israel melakukan serangan udara kepada negeri para Mullah ini. Langit di beberapa kota besar di Israel dihujani berbagai rudal jelajah milik Iran. Kota kota di Israel seperti Tel Aviv, Haifa, dan Jerussalem menjadi target Iran dalam operasinya yang disebut operasi militer “True Promises 3”. Korban jiwa akibat operasi militer kedua belah pihak tentu tidak dapat terhindarkan.
Panasnya konflik di Timur tengah secara otomatis membuat harga minyak dunia naik cukup drastis hingga 7% (Brent/WTI) ketika Israel melancarkan operasi militernya ke Iran dan diprediksi akan terus melonjak. Hal terburuk jika sampai eskalasi konflik terus memburuk dan Iran terpaksa harus menutup selat Hormuz harga minyak dunia diprediksi bisa melambung hingga diatas 100 USD per barel.
Sementara itu disisi lain berbagai negara memberikan respon yang cukup beragam terkait konflik ini mulai dari Arab Saudi yang mengecam keras tindakan Israel ini. Pangeran MBS secara langsung menelpon presiden Iran dan mengatakan dukungan dari dunia Islam kepada Iran. Begitu juga sekutu dekat Iran seperti Rusia dan Tiongkok juga mendorong kedua belah pihak baik Israel dan Iran untuk menahan diri. Sementara itu Pakistan yang juga tetangga dekat Iran juga memberikan dukungan penuh kepada Iran dan mendorong negara negara Islam untuk bersatu mengecam tindakan Israel. Sementara itu Amerika Serikat hingga saat ini menyatakan jika operasi militer yang dilakukan Israel tidak ada kaitannya dengan keterlibatan AS didalamnya. Namun pernyataan ini masih diragukan oleh banyak pihak dikarenakan selama ini AS adalah sekutu dekat Israel di Timur Tengah dan beberapa waktu silam AS juga beberapa kali memanas dengan Iran baik sejak era Biden ataupun Trump.
Efek domino lain yang bisa terjadi atas konflik ini adalah potensi serangan drone atau rudal ke kilang gas lepas pantai Israel akan menakuti pasar global dan memiliki potensi untuk semakin terkerek naiknya harga gas dunia. Proyek energi seperti pipa gas EastMed (Israel-Siprus-Yunani-Eropa) merupakan proyek infrastruktur gas Israel yang berasal dari ladang gas Leviathan dan Tamar di Israel bagian barat hal ini merupakan proyek penting bagi Eropa ataupun Israel. Karena selama ini Eropa sedang gencar mengurangi ketergantungan gas Rusia.
Kemandirian Energi dan Percepatan Transisi Energi Terbarukan solusi ketahanan energi
Mulai melambungnya harga minyak dunia akibat Konflik Iran-Israel merupakan sinyal keras bagi banyak negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Ketergantungan Indonesia terhadap energi dari negara lain masih cukup tinggi. Dengan adanya konflik konflik geopolitik yang terjadi belakangan ini pemerintah sudah seharusnya mengkaji kembali bagaimana ketahanan energi nasional kita.
Situasi saat ini momentum tepat bagi Indonesia untuk mulai kemandiriannya dalam bidang energi Nasional, karena ketahanan energi sebuah negara tidak bisa hanya dibangun dengan mengandalkan impor energi dalam jumlah cukup besar ataupun memberikan subsidi energi berlebihan kepada masyarakat, ataupun sekedar retrorika minat negara dalam transisi kepada energi terbarukan namun belum menyentuh akar persoalan terkait ketahanan energi nasional. Dengan memanfaatkan sumber daya yang kini dikelola oleh pemerintah lewat BUMN untuk melakukan peningkatan produksi demi kepentingan Nasional terutama pada sektor Minyak bumi dan Gas Alam adalah salah satu opsi yang bisa digunakan sebagai pondasi kemandirian energi Nasional.
Percepatan pembangunan infrastruktur cadangan strategis serta percepatan akselerasi investasi di bidang energi terbarukan (EBT) juga bisa menjadi opsi lain bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor energi Indonesia kepada negara lain. Selain itu untuk menunjang ketahanan energi Nasional pemerintah lewat kementerian ESDM juga dapat mereview kembali terkait ekspor sumber daya tidak terbarukan dan jika perlu mengurangi kuota ekspor sumber daya tidak terbarukan demi memperkuat kebutuhan ketahanan energi nasional terlebih dahulu juga merupakan solusi menghadapi krisis energi.
————- *** —————–


