25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Buzzer atau Humas: Siapa Mewakili Pemerintah?

Oleh :
Taufik Maulana
Pranata Humas Ahli Muda pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur

Informasi Resmi atau Opini Partisan (1 – Bersambung)

Sampai saat ini, publik makin sulit membedakan mana suara resmi Pemerintah dan mana sekadar opini liar dari para Buzzer. Derasnya informasi di media sosial, sering kali justru para Buzzer yang lebih dulu menyampaikan kebijakan lengkap dengan narasi pembenaran, bahkan serangan terhadap kritik. Sementara Humas resmi Pemerintah justru tertinggal, diam, atau tidak cukup meyakinkan.

Di tengah maraknya komunikasi digital, batas antara informasi resmi dan opini partisan makin kabur. Masyarakat kini sering kali dibingungkan antara pernyataan dari Humas Pemerintah dan narasi yang digaungkan oleh para Buzzer di media sosial. Ironisnya, dalam banyak kasus, Pemerintah justru terlihat lebih mengandalkan para Buzzer daripada memperkuat peran Humas resminya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapakah sebenarnya yang mewakili suara Pemerintah? Buzzer atau Humas?

Siapa itu Buzzer dan Humas Pemerintah?
Dalam lanskap komunikasi digital saat ini, istilah “Buzzer” dan “Humas Pemerintah” sering muncul bersamaan, namun keduanya memiliki karakter, fungsi, dan legitimasi yang sangat berbeda. Sedangkan dalam dinamika komunikasi politik era digital, istilah Buzzer dan Humas Pemerintah kerap muncul dalam satu ruang wacana, meskipun secara prinsip keduanya sangat berbeda, baik dari segi fungsi, legitimasi, maupun tanggung jawabnya.

Buzzer merujuk pada individu atau kelompok yang aktif menyuarakan opini atau narasi tertentu, terutama di media sosial, dengan tujuan membentuk persepsi publik. Mereka bekerja secara terorganisasi, menggunakan pola komunikasi masif dan serempak dan sering kali dengan identitas anonim atau samar.

Berita Terkait :  BPBD Pantau Dua Lokasi Tebing Longsor di Kabupaten Sampang

Dalam banyak kasus, aktivitas Buzzer dilandasi oleh motif pragmatis: demi keuntungan politik, ekonomi, atau relasi kuasa. Buzzer tidak terikat oleh kode etik komunikasi, dan karena itu kerap beroperasi dalam wilayah abu-abu: menyebarkan informasi tanpa verifikasi, membangun narasi dengan logika tunggal, bahkan menyerang pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakan negara. Peran mereka sering kali dikaitkan dengan propaganda politik yang dibungkus dalam kemasan dukungan publik.

Sementara itu, Humas Pemerintah adalah institusi resmi yang ditunjuk dan diberi mandat untuk menyampaikan informasi kebijakan kepada publik. Tugas mereka tidak hanya menyebarluaskan informasi, tetapi juga membangun komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat, termasuk menjelaskan, mengklarifikasi, dan merespons kritik. Humas bekerja berdasarkan aturan hukum, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta tunduk pada etika profesi kehumasan. Mereka memegang tanggung jawab institusional dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas informasi yang disampaikan. Berbeda dengan buzzer yang bisa menghilang begitu isu reda, humas adalah wajah resmi lembaga yang hadir secara terang dan terbuka.

Dengan kata lain, Buzzer dan Humas berjalan di jalur yang berbeda: Buzzer berada dalam ruang informal, partisan, dan tidak akuntabel; sementara Humas Pemerintah seharusnya menempati posisi sebagai aktor strategis yang mewakili negara secara resmi, transparan, akuntabel, partisipatif dan berorientasi pada pelayanan publik. Ketika peran Buzzer lebih terdengar daripada suara Humas, yang terjadi bukan sekadar disorientasi komunikasi, tetapi krisis representasi negara dalam berbicara kepada rakyatnya.

Berita Terkait :  Polres Batu Kota Ungkap Penipuan Online Berkedok Lelang Tas Branded Fiktif

Ketergantungan Pemerintah pada Buzzer
Studi dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 2021 menyebutkan bahwa ada indikasi keterlibatan Buzzer dalam memengaruhi opini publik selama pandemi COVID-19. Salah satu temuan menarik adalah ketika sejumlah akun Buzzer secara serempak menyebarkan narasi positif tentang penanganan pandemi, sementara mereka juga menyerang pihak-pihak yang mengkritisi pemerintah, termasuk akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.

Di sisi lain, riset yang dilakukan oleh Drone Emprit, platform pemantauan media sosial, menunjukkan adanya pola koordinasi yang khas dalam aktivitas Buzzer pro-pemerintah. Mereka kerap menggunakan tagar seragam, mengutip narasi yang identik, dan melakukan pembelaan terhadap kebijakan meski belum disampaikan secara resmi oleh instansi terkait.

Studi Kasus: RUU Cipta Kerja dan Revisi UU KPK
Dua kasus menonjol yang memperlihatkan peran dominan Buzzer adalah saat pengesahan RUU Cipta Kerja (2020) dan revisi UU KPK (2019). Dalam kedua kasus tersebut, muncul tagar-tagar populer seperti #CiptakerUntukRakyat dan #KPKKuat, yang diunggah secara serempak oleh akun-akun dengan aktivitas tinggi dan follower besar. Padahal, banyak dari informasi yang disampaikan tidak akurat, bahkan menyesatkan. Sementara itu, Humas Pemerintah relatif pasif dan lambat merespons gelombang kritik masyarakat, baik dalam bentuk konferensi pers maupun klarifikasi kebijakan.

Krisis Kepercayaan Publik
Ketika Buzzer mengambil alih ruang komunikasi publik, sejumlah masalah muncul. Pertama, hilangnya kejelasan sumber informasi resmi. Masyarakat bingung siapa yang mewakili suara Pemerintah: akun anonim di media sosial atau pejabat yang bisa dimintai pertanggungjawaban?

Berita Terkait :  Tok! UMK Bojonegoro Ditetapkan Rp 2.525.132

Kedua, terciptanya iklim intoleransi terhadap kritik. Banyak kritikus kebijakan yang mengalami serangan digital dari Buzzer, termasuk doxing dan intimidasi. Ini berbahaya karena menghambat kebebasan berekspresi, yang merupakan fondasi demokrasi.

Ketiga, rusaknya kredibilitas Pemerintah. Ketika narasi Buzzer tidak terbukti atau bertentangan dengan kenyataan di lapangan, masyarakat akan merasa dibohongi. Akibatnya, kepercayaan terhadap institusi negara pun menurun.

Mengapa Pemerintah Cenderung Mengandalkan Buzzer?
Salah satu alasannya adalah kecepatan dan jangkauan. Buzzer dianggap lebih lincah dalam merespons isu dan membentuk opini publik ketimbang kanal resmi pemerintah yang birokratis. Selain itu, Buzzer bisa bekerja dalam ruang abu-abu: mereka bisa menyerang lawan tanpa harus terikat etika dan hukum, karena tidak resmi.

Namun, pendekatan ini ibarat memadamkan api dengan bensin. Dalam jangka pendek mungkin efektif, tetapi dalam jangka panjang bisa membakar kredibilitas dan memperdalam polarisasi sosial. (bersambung)

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru