Perjuangan lebih gigih masih harus dilakukan segenap Serikat Buruh, berkait perlindungan, dan keamanan kerja. Bahkan hak dasar buruh, sebagai bagian dari HAM (Hak Asasi Manusia (HAM) sering terabaikan oleh perusahaan. Termasuk “penyanderaan” ijazah. Hak buruh yang mendasar lainnya, juga sering terabaikan. Termasuk jam beribadah, serta cuti haid (dan melahirkan). Pada peringatan May Day 2025, perjuangan lebih spartan wajib dilakukan untuk mencegah PHK. Terutama disebabkan ke-tidak pasti-an global.
Pemerintah konon telah membentuk Satgas pecegahan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Walau kewenangan Satgas belum jelas. Karena PHK lebih ditentukan oleh suasana ke-ekonomi-an perusahaan, melalui lembaga kurator, dan Pengadilan. Kekhawatiran menyusutnya perekonomian global (dan nasional) yang berujung PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), kini menjadi kenyataan. Pabrik tekstil (terbesar di Asia Tenggara), Sritex Group, dinyatakan pailit oleh Kasasi MA (Mahkamah Agung), pada Desember 2024 lalu.
Berdasar catatan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), selama Januari-Maret 2025, terdapat 40 perusahaan melakukan PHK. Sebanyak 50 ribu buruh menjadi korban. Kekhawatiran pailit juga terjadi pada 60 perusahaan tekstil lain, sampai potensi PHK sebanyak 250 ribu buruh. Diantara penyebab PHK, diantaranya, pailit, efisiensi, hingga relokasi (ke luar negeri) terutama ke Vietnam.
Ironisnya, hak-hak buruh yang paling mendasar, juga masih perjuangan gigih. Yakni, aksi pengusaha “menyandera” ijazah buruh, sebagai jaminan kerja. Niscaya sangat merugikan buruh, dan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Di seluruh dunia, tiada persyaratan perusahaan “menyandera” ijazah karyawan. Bahkan sekolah yang mengeluarkan ijazah juga dilarang “menyandera” ijazah anak didik.
Saat ini, seluruh daerah (terutama Jakarta, dengan instruksi Gubernur) berupaya mem-bebaskan ijazah yang masih tertinggal di sekolah. Bisa jadi, dahulu, karena tidak mampu membayar persyaratan sekolah. Lebih ironis, manakala pihak perusahaan yang “menyandera” ijazah karyawan. Kasus penyanderaan ijazah di Surabaya, patut memperoleh penyelidikan seksama aparat penegak hukum. Karena dikhawatirkan berubah menjadi kasus SARA.
Beberapa tuntutan serikat pekerja, adalah penghapusan outsourcing (alih daya, pekerja kontrak). Rekrutmen pekerja alih daya, diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga-kerjaan. Diatur dalam pasal 64, pasal 65, dan pasal 66. Diantaranya berupa pekerjaan penunjang produksi. Namun harus memiliki perlindungan yang sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi pekerjaan (pekerja tetap).
Pada penjelasan pasal 66, disebut jenis pekerjaan yang bisa di-alih dayakan. Yakni, katering, pengamanan (sekuriti), angkutan (pengemudi), konstruksi (tukang bangunan), dan jasa penunjang pada pertambangan dan perminyakan. Pasal yang mengatur alih-daya, sebenarnya sudah diubah melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dianggap “cacat formil.” sekaligus diberi waktu selama 2 tahun, terutama berkait proses pembentukan omnibuslaw.
Keabsahan hukum UU Ketenaga kerjaan, berliku-liku. Mirip perjuangan nasib buruh. Pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022, yang kemudian menjadi UU Cipta Kerja. UU yang baru ini tetap menuai kritik dan perdebatan, terutama dampaknya pada ketenagakerjaan dan perlindungan buruh. Berujung di-uji materi lagi. Putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi.
MK menyatakan beberap pasal dalam UU Cipta Kerja, bertentangan dengan UUD 1945. Menjadi inkonstitusional bersyarat. Sekaligus meminta agar ketentuan ketenagakerjaan yang ada dalam UU Cipta Kerja dipisahkan dan menjadi undang-undang sendiri. Hingga kini pemerintah belum merealisasi putusan MK.
Tetapi masalah utama yang dihadapi buruh, adalah, perbaikan nominal unsur kehidupan layak yang membentuk upah minimum. Realitanya, pengusaha selalu bisa menambah pabrik. Tetapi buruh tidak mampu menabung.
——— 000 ———


