28 C
Sidoarjo
Wednesday, February 5, 2025
spot_img

Dilema Kebijakan Subsidi dan Distribusi Elpiji

Oleh :
Siti Aminah
Penulis adalah Direktur CSWS-FISIP, Universitas Airlangga

Fenomena antrian warga tidak mampu untuk mendapatkan elipiji (gas elipiji) 3 kg yang terjadi belakangan ini sangat mengejutkan. Ini akibat dari kebijakan penyaluran subsidi energi supaya lebih tepat sasaran. Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginstruksikan bahwa mulai 1 Februari 2025, agen resmi Pertamina dilarang menjual LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 kg kepada pengecer dan pembeli langsug bisa membeli ke pengecer (yang menjual sembako).

Selama ini, masyarakat menengah bawah lebih mudah dengan mata rantai distribusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Gas ukuran 3 kg memang sudah ditetapkan oleh negara untuk masyarakat kurang mampu, usaha mikro, petani, dan nelayan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 dan Nomor 38 Tahun 2019. Dibalik konsep kategoris dari masyarakat kurang mampu itu ada sebagian besar masyarakat yang juga meninginkan manfaat dan merasakan subsidi pada elpiji 3 kilogram.

Kebangkitan Neolliberalisme?
Jawaban teoretis dari praktik neoliberalisme bisa menggunakan keranhka analisis dari David Harvey. Ketika kita mencoba memahami rancangan ide berpikir David Harvey yang berpendapat bahwa neoliberalisme adalah doktrin bahwa pertukaran pasar adalah etika tersendiri, yang mampu bertindak sebagai panduan bagi semua tindakan manusia–telah menjadi dominan baik dalam pemikiran maupun praktik di sebagian besar dunia sejak sekitar tahun 1970.

Salah satunya adalah gejala privatisasi tertama lahan dalam pembangunan. Membaca “A Brief History of Neoliberalism” dari Harvey (2005) menjadi cara bagi kita untuk memahami praktik ekonomi politik tentang barang-barang publik yang dijamin ketersediaannya oleh negara untuk rakyat.

Berita Terkait :  Semarakan HUT TNI Ke-79, Kodim Bojonegoro Gelar Lomba Cerdas Cermat Wasbang

Praktik neoliberaisme memang dikhawatirkan mengandung bahaya politik dan ekonomi dan sekarang ini benar-benar nyata mengelilingi kehidupan kita. Kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok bukan hal yang biasa dan bukan hal yang kebetulan terjadi. Kelangkaan ketersediaan barang-barang publik di masyarakar bisa digunakan sebagai cara kita untuk menilai prospek alternatif yang lebih adil secara sosial yang dianjurkan oleh banyak gerakan oposisi.

David Harvey mencoba menelusuri pergeseran yang jelas menuju neoliberalisme oleh berbagai pemerintahan sejak tahun 1970-an, menunjukkan bahwa neoliberalisme bukan hanya sekadar program politik dominan, tetapi juga telah meresap ke dalam cara kita memahami, menjalani, dan menafsirkan dunia.

Kita masih sulit untuk membedakan antara neoliberalisme sebagai proyek ideologis dan neoliberalisasi sebagai proses politik. Hal ini perlu diperhatikan karena karakteristik neoliberalisme bervariasi secara historis dan sesuai dengan konteks geografis negara. Di negara ini, bentuk neoliberalisme menonjolkan ciri-ciri hibrida dari neoliberalisme yang “benar-benar ada”. Kita juga perlu dengan cermat membedakan antara proses seperti deregulasi, komodifikasi, marketisasi, dan privatisasi, yang menjadi fokus dari doktrin neoliberalisme.

Dalam hal ini, kita sudah sering menganggap hal deregulasi, privatisasi, komodifikasi sebagai hal yang biasa saja, tanpa perlawanan rakyat secara signifikan. Jika ada perlawanan itu hanya sebagaii protes sosial biasa dan bukan gerakan sosial.

Negara Minimalis Bukan Mitos
Kebutuhan gas elpiji 3 kg bagi masyarakat kini dipenuhi melalui impor. Negara tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan gas elpiji secara mandiri. Dalam konteks negara neoliberal, peran negara memang semakin minimal. Secara perlahan, negara disingkirkan dari semua fungsi kecuali peran minimal dalam ekonomi nasional.

Berita Terkait :  Perpusnas RI Gelar Pertemuan Pemangku Kepentingan Tingkat Provinsi

Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan pasar, yang menurut para ahli, peran minimal ini bertujuan untuk melayani “kepentingan publik”. Gas elpiji tidak langka, barang tersebut tetap tersedia di pasar, namun cara masyarakat untuk membelinya telah berubah. Masyarakat tidak bisa langsung membeli dari pengecer atau toko sembako, melainkan harus ke pangkalan.

Perubahan ini menciptakan suasana psikologis yang tidak stabil di masyarakat. Ada kepanikan yang dikaitkan dengan hilangnya elpiji 3 kg di pasaran. Kegaduhan sosial ini seharusnya mendorong kita untuk mempertanyakan kembali peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Kasus reaksi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola distribusi gas elpiji 3 kg ini menjadi salah satu indikasi penting.

Penutup
Alasan pemerintah untuk mengubah pola distribusi eliji 3 kg telah teleh menyebabkan kegaduhan sosial politik. Apapun alasan yang dibuat negara telah menimbulkan kelangkaan elpiji gas 3 Kg di pasar. Ini mungkin bisa disebut sebagai langkah awal pengetatan regulasi distribusi dan subsidi gas khususnya dan bahan kebutuhan pokok lainnya untuk jangka menengah (menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri).

Perubahan pola distribusi migas seperti ini juga mengingatkan kita tentang dilemma yang dihadapi negara. negara tengah menata untuk melakukan reformasi kebijakan “neoliberal” di semua sektor dan gagasan tentang negara neoliberal memang memiliki nilai analitis yang terbatas. Ini juga telah menjadi risiko yang dihadapi negara berkembang, sebuah negara yang secara struktural dibatasi oleh pasar global dan atau secara ideologis berkomitmen untuk memainkan peran minimalis sebagai fasilitator pasar dan regulator persaingan.

Berita Terkait :  Harga Gabah Kering Panen di Tingkat Petani naik 2,26 persen

———- *** ————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru