28 C
Sidoarjo
Wednesday, February 5, 2025
spot_img

HMI untuk Indonesia Mandiri dan Berdaulat

Refleksi Milad HMI yang Ke-78 Tahun

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Ketua Bidang PTKP HMI Komisariat FISIP Unair 1997-1998

Tanggal 5 Februari 1947 merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perjalanan organisasi mahasiswa Islam di Indonesia. Persitiwa tersebut menjadi salah satu embrio paling penting dalam sejarah lahirnya Mahasiswa Islam Indonesia (HMI). Organsasi yang memiliki komitmen gerakan keindonesiaan dan keummatan. Indonesia. Organisasi ini lahir melalui proses dialektika pemkiran yang terus berinetraksi denn reaitas politik yang cukup panjang dan penuh rintangan dan tantangan. Adalah seorang pemuda 25 tahun, Lafran Pane, cukup berani dan memiliki visi ke depan bersama mahasiswa lainnya menginisiasi berdirinya HMI. HMI didirikan untuk berkontribusi untuk negeri ini melalui visi pembinaan menjadi insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.

Dari rakhim HMI inilah, telah banyak lahir tokoh-tokoh HMI yang telah banyak mewarnai perjalanan sejarah dan kamajuan negeri ini. HMI istiqomah berkhidmat untuk negara, bangsa, dan agama . Kini usia organisasi mahasiwa Islam ini telah memasuki 78 tahun. Sebuah usia yang sudah penuh dengan kematangan. Matang secara spiritualitas, pemikiran, dan gerakan. Di hari miladnya yang 78 ini, diharapakan semua kader-kader umat, bangsa dan peradaban ini, khususnya para pemuda-pemudi Islam/kader HMI melakukan refleksi dan revitalisasi semangat nasionalisme dan spiritualisme untuk kebangkitan baru menuju peradaban bangsa yang lebih maju, mandiri dan berdaulat.

Tema yang diusung pada milad kali ini adalah HMI untuk Kedaulatan Bangsa. Tema ini sangat relevan untuk menegaskan spirit dan aksi HMI untuk kemajuan dan peradaban bangsa, negara, dan agama ini dengan dilandasi spiritualisme Islam dan nasionalisme yang kokoh. Saat ini, Indonesia memiliki potensi bonus demograsi yang dapat berkontribusi bagi kemajuan dan kemandirian bangsa. Dengan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia kerja lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja akan berpengaruh pada potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan berkualitas. Berdasarkan hasil temuan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021. Indonesia telah memasuki era bonus demografi di mana usia produktif (15-64 tahun) mendominasi jumlah penduduk di dalam negeri.

Berita Terkait :  Augmented Reality Book Campina jadi Media Edukatif Kreatif bagi Anak-Anak

Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik 2021 menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia per-September 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa atau bertambah 32,56 juta jiwa dari survei penduduk 2010. Dari suevei tersebut terungkap, penduduk Indonesia didominasi usia produktif (15-64 tahun) dengan jumlah mencapai 191,08 juta jiwa (70,72%). Jumlah itu jauh melampaui jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) sebanyak 63,03 juta jiwa (23,33%), dan penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas) sebanyak 16,07 juta jiwa (5,95%). Hal ini didukung lebih jauh lagi dengan temuan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021. Pada survei tersebut, kontribusi tertinggi pada angkatan kerja nasional pada tahun kedua pandemi adalah milenial (24-39 tahun) sebesar 37,37 persen, dan gen X (40-55 tahun) sebesar 34,52 persen. Kondisi ini, jika dikelola dengan baik, maka terwujudnya Indonesia Emas bukanlah utopia.

Tantangan Generasi Emas
Lahirnya generasi emas yang direpresentasikan oleh bonus demografi di atas, bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan cukup berat adalah, potensi pudarnya semangat nasionalisme di kalangan pemuda (islam) seiring dengan arus globalisasi yang sarat dengan idiologi dominan, kapitalisme. Kondisi tersebut apa yang digambarkan oleh Futurolog John Naisbit dan Alvin Tofler sebagai gambaran dunia yang semakin sempit. Sebagaimana dikemukakan ahli komunikasi Kanada, McLuhan; dunia bagaikan suatu kampung besar (global village). Dan kehidupan kita tak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Batas-batas teritorial sebuah negara dipahami bukan sekedar batas geografis yang memisahkan sebuah negara dengan negara lain, melainkan batas-batas budaya, yang memisahkan sebuah komunitas budaya yang satu dengan yang lain. Mengikuti integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global, dalam aspek budayapun akan terjadi hal yang sama. Globalisasi menuntut adanya pengintegrasian sistem budaya nasional ke dalam sistem budaya global yang liberalistik. Dalam pandangan kaum modernism, globalisasi dan modernisasi akan melahirkan homogenisasi kultural (penyeragaman budaya).

Berita Terkait :  Hearing Insiden Kecelakaan Tak Dihadiri Pemilik Ambyar dan Paradise

Salah satu tantangan dihadapan mata yang dihadapi para pemuda dan bangsa ini adalah globalisasi dan konsumerisme yang bergerak begitu cepat serta dampaknya bergitu serius. Perlu diingat bahwa globalisasi, kapitalisme dan konsumerisme bukanlah agenda atau proyek global yang tanpa nilai dan kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme adalah proyek global yang dirancang dan dijalankan secara matang, terstruktur dan sistematis oleh negara-negara industri maju (kapitalis) untuk menata sistem kehidupan global ini menjadi seragam sesuai dengan nilai, ideologi dan kepentingan mereka. Konsekwensi dari rancangan global tersebut tentu saja akan berdampak pada hilangnya berbagai kearifan lokal dan beragaman budaya lokal. Dan efek dominonya, akan berdampak pada lunturnya nasionalisme bangsa.

Nasionalisme Organik
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, sebagai bangsa yang memiliki nilai dan idilologi Pancasila, pada Pemuda kita mesti berfikir dan bertindak kritis. Salah satu yang penting dalam merespon dampak globalisasi adalah, bagaimana membangun imunitas nasionalisme kita dikalangan Pemuda. Kita sekarang sedang menghadap “perang asimetris” melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita sangat membutuhkan sikap nasionalisme genuine, bukan kepura-puraan yang sarat dengan pencitraan.

Membangun imunitas nasionalisme Pemuda dengan cara menyuntikan “virus kekebalan” dan bosster ke setiap tubuh pribadi-pribadi anak bangsa. Salah satunya adalah membudayaan sikap mencintai Indonesia seutuhnya. Contoh sederhana; “cintailah produk-produk dalam negeri”. Pada saat yang sama kita butuh masinis-masinis unggul; bangsa ini membutuhkan pemuda-pemudi yang memiliki nasionalisme organik, yakni nasionalisme pemuda yang otentik, genuine yang lahir dari prosess sejarah dan rahim rakyatnya, merasakan penderitaan ibu pertiwi.

Berita Terkait :  Cegah Banjir dan Kumuh Perkotaan, PUPR Nganjuk Revitalisasi Saluran Drainase

Para Pemuda yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan rakyat Indonesia, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat. Pemuda yang memiliki ketegasan dan keberanian untuk melawan setiap upaya dari pihak manapun yang akan merongrong dan menghancurkan kedaulatan nasional. Para Pemuda berjiwa nasionalisme otentik ini, diharapkan akan dapat membangun kembali nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju, mandiri dan berdaulat. Inilah pekerjaan rumah kita sekarang dan akan datang. Selamat Milad HMI ke 78 tahun, Yakin Usaha Sampai menuju Indonesia Emas 2045, yang maju dan berdaulat.

———– *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru