Spekulasi harga pangan mulai merambat naik, seiring kendala distribusi akibat banjir dan longsor. Banyak jalan propinsi, dan jalan negara, tertutup banjir. Jalan macet panjang, ber-konsekuensi menambah pengeluaran BBM (Bahan Bakar Minyak). Sehingga banyak perusahaan angkutan dan distribusi, memilih libur operasional. Menjadikan ongkos angkut lebih mahal. Berujung harga jual (di pasar) bahan pangan naik. Lebih lagi harga LPG “melon” sudah naik Rp 3 ribu menjadi Rp 20 ribu. Biaya dapur sudah pasti turut naik.
Berbagai bahan kebutuhan dapur naik seiring musim hujan. Termasuk harga miyak goreng membubung. Secara nasional, rata-rata harga Minyakita mencapai Rp 17 ribu per-liter. melampaui HET yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 15.700 per liter. Disusul kenaikan harga bawang merah, cabai merah, cabai rawit, daging ayam, dan telur. Komoditas pangan yang lain tak mau kalah. Tepung terigu, jagung dan kedelai turut naik. Ikan (hasil tangkapan nelayan, kembung, dan tongkol) juga naik.
Tetapi pemerintah telah meng-antisipasi kenaikan harga bahan pangan pokok utama (beras) pada saat baru mulai tanam. Sudah biasa terjadi harga beras naik pada sekitar bulan Januari dan Pebruari. Begitu pula memastikan keterjangkauan harga komoditas pangan dan tarif angkutan pada periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Terutama pada bulan Ramadhan. Inflasi wajib terkendali pada kisaran 2,5%, dengan toleransi plus minur 1%. Sehingga inflasi akan berkisar 1,5% hingga 3,5%.
Inflasi yang terkendali, bisa menjadi tanda pertumbuhan ekonomi. Sekaligus mencegah deflasi (tanda pelemahan daya beli). Pemerintah konon telah memiliki roadmap pangan, dengan produktifitas, dan ketersediaan. Terbukti selama semester kedua tahun 2024 terjadi deflasi sebagai penglipur inflasi semester pertama. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik) Jawa Timur terjadi inflasi year on year (y-on-y) sebesar 2,47%. Serta IHK (Indeks Harga Konsumen) pada angka 105,41.
Secara umum, sembako (sembilan jenis kebutuhan pokok) tergolong “tenang.” Walau terdapat kenaikan harga komoditas “sensitif.” Antara lain gas LPG 3 kilogram, yang naik tak terduga, terdampak kebijakan. Tidak ada pengurangan tabung melon, tetapi terjadi kelangkaan. Pemerintah daerah (propinsi) memiliki kewenangan menaikkan harga LPG melon. Di Jawa Timur, Pj Gubernur menetapkan kenaikan harga LPG 3 kilogram menjadi Rp 18 ribu per-kilogram (semula Rp 16 ribu).
Harga LPG di tingkat eceran menjadi Rp 20 ribu, tidak ada panik buying, tidak terjadi antrean panjang. Sebagai sembako, LPG tabung melon tergolong penugasan pemerintah yang dsubsidi. Di dalam setiap tabung LPG 3 kg, ada sokongan pemerintah sebesar Rp 33 ribu. Harga jual ke-ekonomi-an LPG 3 kilogram sebesar Rp 53 ribu. Volume konsumsi masyarakat sudah mencapai 8,17 juta kilo liter. Pemerintah bisa keteter, maka perlu pengaturan LPG subsidi.
Pedagang pengecer wajib punya NIB (Nomor Induk Berusaha), yang akan terhubung dengan data wajib pajak. Bahkan bisa jadi, penerima manfaat LPG akan diberi subsidi harga LPG langsung melalui rekening bank. Sehingga membelinya dengan harga non-subsidi (tahun 2026). Pengaturan subsidi dan kompensasi energi diharapkan bisa menghemat anggaran sebesar Rp 67,1 triliun per-tahun.
Namun pemerintah memiliki kewajiban menjamin pasokan, dan harga terjangkau, berdasar UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Pada pasal 25 ayat (1), dinyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting … dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.” Nyata-nyata terdapat frasa kata “harga yang terjangkau” wajib direalisasi pemerintah.
——— 000 ———