Gens Una Sumus, Kita Semua Adalah Saudara, Junjung Tinggi Sportivitas
Nganjuk, Bhirawa.
Beberapa hari ini masyarakat Kabupaten Nganjuk d buat bingung oleh beberapa media massa, baik cetak, online atau elektronik seperti radio yang menyatakan klaim kemenangan atas Paslon no urut 03 terhadap paslon no urut 01, meski dengan disklaimer hasil hitung cepat dari litbang internal partai.
Beberapa pendapat menyatakan sah-sah saja klaim kemenangan tersebut beserta eforia kemenangan yang dirayakan, namun pendapat berbeda di kemukakan oleh Sukonyono, seorang pengamat kebijakan publik.
“Merasa terpojok akan kalah, hingga melakukan apa yang disebut kontravensi taktis, sehingga ketika peluit panjang KPU di bunyikan dan ternyata pihak lawan yang menang, mereka akan membuat gaduh dengan pernyataan-pernyataan, ada kecurangan, ada penekanan, ada intervensi, akan di lontarkan kepada pihak penyelenggara”, ungkap Ir. Sukonyono, MT, ex Staff Ahli Kabupaten Nganjuk.
Hal tersebut bukan hal baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia, era Pilpres SBY dan Megawati dulu juga terjadi perang media, TV A memenangkan SBY, TV B memenangkan Mega dan semua sah-sah saja, ungkap seorang teman di Bawaslu.
Dalam era ‘post-truth’ saat ini, narasi menjadi semacam ‘ratu’ dalam permainan catur politik ini, instrumen dengan kekuatan paling besar dan paling sering dimanipulasi oleh pemain – individu atau kelompok dengan kepentingan tertentu – untuk mencapai tujuan politik dengan kekuatan mass media baik cetak, online maupun elektronik seperti radio dan televisi.
Demikian di ungkapkan oleh mantan Ketua KPU Nganjuk, Pujiono, SH, MH. “Salah satu fenomena yang memperkuat era post truth adalah maraknya fake news atau berita palsu. Informasi yang tidak akurat atau sengaja disesatkan ini sering kali di buat untuk memicu reaksi emosional, menyebarkan kepanikan, atau mengejar tujuan politik tertentu”, ungkapnya.
“Dengan begitu banyaknya informasi yang beredar sehingga sulit bagi masyarakat untuk memilah mana informasi yang benar dan mana yang hanya sekadar hoaks atau disinformasi. Hal ini menjadi semakin kompleks ketika informasi yang salah tersebut terus tersebar di media sosial tanpa adanya verifikasi yang memadai”, tambahnya.
“Era post truth juga ditandai dengan peningkatan polarisasi masyarakat. Orang-orang semakin terpisah dalam kelompok-kelompok yang hanya mengonsumsi informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri, menghindari informasi yang berbeda atau bertentangan. Akibatnya, ruang publik digital menjadi terpecah belah dan sulit untuk mencapai konsensus tentang isu-isu penting. yang sedang atau akan terjadi”, terang Pujiono.
“Masyarakat harus tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh klaim kemenangan secara sepihak oleh salah satu paslon penting untuk di sampaikan ke masyarakat luas, agar tidak terjadi perpecahan di antara 2 kubu paslon, serta menyerahkan sepenuhnya hasil pilkada ini kepada KPU atau melapor kepada Bawaslu, jika di perlukan bisa melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi” pungkas Pujiono.
Menunggu sambil menikmati proses demokrasi beserta tahapan-tahapannya yang sudah di jadwalkan oleh KPU sambil minum kopi mungkin terasa lebih nikmat sambil bermain catur dengan kawan dibandingkan dengan mabuk kemenangan yang masih bias sambil merenungkan apakah benar Suara rakyat adalah suara Tuhan?
Gens Una Sumus, kita semua adalah saudara, junjung tinggi sportivitas. (dro.hel)