25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

LPPM Untag PKM pada Kelompok Asman Toga dan Akupresur Clitoria Ternatea


Beri Pelatihan Penerapan Pertanian Organik dan Penanganan Pasca Panen
Surabaya, Bhirawa
LPPM Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menggelar Pengabdian Kepada Masyarakat pada Kelompok Asman Toga dan Akupresur Ciltoria Ternatea Desa Wage, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, dengan pelatihan pembuatan kompos dan pestisida herbal, manajemen dan akuntansi untuk usaha mikro, serta bisnis digital.

Tim PKM Untag Surabaya diketuai Amelia Nirmalawati dengan anggota Tiurma Williana dan Susanti Panjaitan dibantu mahasiswa Ayu Anggraini Cahya Pitaloka dan M Oktananda. Diikuti 40 orang peserta yang terdiri dari Pengurus Asman Toga dan Akupresur Clitoria Ternatea, serta dua orang perwakilan dari ke 17 RW di Desa Wage. Pelatihan pembuatan Probiotik dan Biosaka dilaksanakan Bulan Juni, sedangkan pelatihan penanganan pasca panen dilaksanakan Bulan Agustus.

Menurut Ketua Tim PKM Untag Surabaya, Amelia, Tim PKM memberikan pelatihan penerapan budidaya tanaman secara organik, yang meliputi pupuk dan pestisida, serta pembuatan kompos, penanganan pasca panen tanaman herbal, tata letak tempat produksi, dan pendampingan usaha mikro yang meliputi CPPOB dan pemasaran produk.

Amelia juga menjelaskan, Tim PKM Untag Surabaya juga memberikan pelatihan budidaya tanaman secara organik dan penanganan pasca panen. Sebab metode budidaya tanaman berpengaruh terhadap produksi biomassa dan kandungan metabolit sekunder tanaman. Sebab pengaplikasian pestisida dan herbisida yang berlebihan mengakibatkan terjadinya akumulasi logam berat pada tanaman, sehingga dapat menjadi racun bagi manusia yang mengkonsumsinya.

Berita Terkait :  ARTSUBS 2025 Sajikan Karya dari 130 Seniman

“Desa Wage tersebar di 17 RW yang ada, dan setiap RW mempunyai produk herbal unggulan, antara lain kelor, bunga telang, rosella. Namun karena keterbatasan dana pemeliharaan tanaman di setiap RW menjadi kendala utama dalam pengelolaan kebun toga. Maka solusi dengan penerapan pertanian organik yakni sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai praktek seperti pendaurulangan unsur hara dan bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik,” jelasnya.

Sementara itu, Tiurma Williana menambahkan, pada sistem budidaya konvensional, penggunaan input dari luar (of farm) di lahan pertanian yang berlebihan dapat mengakibatkan degradasi sumber daya alam, dan mengakibatkan akumulasi berbagai logam berat dari pestisida maupun herbisida dalam tanaman yang pada akhirnya menjadi pemicu berbagai penyakit degenerative pada manusia.

“Sehingga diberikan pelatihan membuat probiotik dan pupuk cair probiotik. Probiotik merupakan bahan (pangan, pupuk, pestisida) yang mengandung mikroorganisme hidup yang secara aktif meningkatkan kesehatan (usus, tanaman, ternak) dengan cara memperbaiki keseimbangan flora (usus, tanah) jika diberikan dalam keadaan hidup. Probiotik dibuat dari bahan-bahan yang mudah diperoleh masyarakat dan mudah dibuat. Bahan yang digunakan diantaranya daun lamtoro, daun ketepeng, bonggol pisang, ikan setengah busuk dan starter atau biang,” papar Tiurma .

Pelatihan pembuatan Biosaka dilakukan untuk menunjang penerapan pertaniarn organik. Biosaka adalah elisitor, yaitu signaling bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang serta berproduksi lebih baik. Biosaka bukanlah pupuk atau pestisida tetapi memberikan manfaat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama maupun penyakit, dapat menghemat penggunaan pupuk kimia, tidak mengakibatkan penurunan kemasan (pH) tanah. Biosaka berupa air remasan yang homogen dari berbagai tanaman yang sehat, tanaman yang digunakan sebaiknya mengandung beberapa jenis rerumputan yang sehat.

Berita Terkait :  Khofifah Indar Parawansa Ajak Syeikh Fadhil Al Jailani Bagikan Kunci Sukses Menuntut Ilmu pada Siswa Khadijah

Sedangkan Susanti Panjaitan menegaskan, PKM Untag Surabaya juga memberikan pelatihan pembuatan awetan kering dari tanaman herbal (simplisia). Sebab selama ini, proses pengeringan dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari hingga 5 hari. Hal ini kurang higienis karena dikeringkan di tempat terbuka, sehingga berpengaruh pada mutu dan kandungan metabolit sekunder maupun aktifitas antioksidan dalam simplisia.

Padahal berdasar hasil penelitian pengeringan dengan alat elektronik (oven) pada suhu antara 45 hingga 50 derajat Celsius oven selama 15 sampai 36 jam, akan menghasilkan simplisia yang lebih bermutu dibandingkan pengeringan dengan sinar matahari.

“Maka diberikan pelatihan pembuatan simplisia dimulai dari proses pencucian, sortasi basah, pengeringan dengan food dehydrator dan penyimpanan. Setelah diberikan pelatihan dan pendampingan penanganan pasca panen, diharapkan kelompok mitra tidak hanya menghasilkan simplisia daun dan bunga yang higienis, tetapi juga dapat menghasilkan simplisia buah maupun dari daun yang tebal,” tandasnya. [fen]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru