Oleh :
Khusnul Fathoni
Mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Di jalanan Jakarta yang ramai atau desa-desa yang tenang di Jawa, ekspektasi kuno tentang peran gender terus membentuk kehidupan sehari-hari di Indonesia. Sementara negara ini berlomba menuju modernitas dengan gedung-gedung pencakar langit dan perusahaan rintisan teknologi yang berkilauan. Kepercayaan budaya yang mengakar kuat tentang apa artinya menjadi perempuan atau laki-laki dalam masyarakat Indonesia tetap menjadi kekuatan besar yang memengaruhi segala hal, mulai dari pilihan karier hingga dinamika keluarga.
Beratnya “Kodrat Wanita”
Di jantung relasi gender di Indonesia terdapat konsep “kodrat wanita” – kodrat alamiah perempuan. Sistem kepercayaan tradisional ini menyatakan bahwa peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu, menjaga keharmonisan rumah tangga sambil mendukung posisi suami sebagai pengambil keputusan dan pencari nafkah utama dalam keluarga.
“Ketika saya mengatakan kepada keluarga bahwa saya ingin mengejar karier di bidang teknik, mereka khawatir itu tidak cocok untuk perempuan,” ujar Dewi Pratiwi, seorang insinyur berusia 28 tahun di Surabaya. “Tekanan untuk memprioritaskan pernikahan dan menjadi ibu di atas ambisi profesional masih sangat nyata bagi banyak perempuan Indonesia.”
Kemajuan dan Paradoks
Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam menyediakan akses yang sama terhadap pendidikan, dengan anak perempuan sekarang bersekolah dengan tingkat yang sama dengan anak laki-laki, namun masih ada bias-bias yang tidak kentara.
Buku-buku pelajaran sering kali menggambarkan perempuan dalam peran domestik tradisional, sementara laki-laki ditampilkan dalam posisi kepemimpinan atau profesi teknis. Pesan implisit ini memperkuat stereotip gender sejak usia dini, yang berpotensi membatasi persepsi anak-anak tentang kemungkinan masa depan mereka.
Meskipun jumlah perempuan yang memasuki dunia kerja semakin meningkat, lanskap perusahaan di Indonesia masih sangat didominasi oleh laki-laki, terutama dalam posisi kepemimpinan. Sebuah studi pada tahun 2023 yang dilakukan oleh Koalisi Bisnis Indonesia menemukan bahwa perempuan hanya menduduki 23% posisi manajemen senior di perusahaan-perusahaan besar, meskipun jumlah mereka mencapai hampir separuh dari total angkatan kerja.
Tantangan yang dihadapi perempuan dalam lingkungan profesional sering kali berasal dari sikap patriarki yang sudah mengakar kuat: (1). Asumsi bahwa perempuan akan memprioritaskan keluarga di atas kemajuan karier. (2). Ekspektasi bahwa perempuan harus “mengayomi” dan “kooperatif” daripada bersikap tegas. (3). Diskriminasi terhadap perempuan hamil atau ibu dalam keputusan perekrutan dan promosi. (4). Keyakinan yang masih kuat bahwa industri tertentu “lebih cocok” untuk laki-laki
Media dan Budaya Populer
Media di Indonesia terus memainkan peran penting dalam melanggengkan stereotip gender. Sinetron populer sering kali menggambarkan perempuan sebagai istri yang patuh atau tokoh antagonis yang manipulatif, dengan sedikit sekali penggambaran perempuan profesional yang menyeimbangkan antara karier dan kehidupan keluarga. Iklan sering kali bergantung pada peran gender tradisional, yang menunjukkan perempuan sebagai ibu rumah tangga atau menekankan kebutuhan mereka untuk menjaga kecantikan fisik untuk menarik perhatian laki-laki.
Di negara di mana agama memainkan peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, interpretasi tradisional atas teks-teks agama sering digunakan untuk membenarkan struktur patriarki. Namun, para cendekiawan dan aktivis agama yang progresif semakin menantang penafsiran-penafsiran tersebut, dengan berargumen untuk pembacaan yang lebih egaliter yang menekankan kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Benih-benih Perubahan
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, ada tanda-tanda transformasi yang menggembirakan di seluruh masyarakat Indonesia :
(1). Tumbuhnya Aktivisme. Generasi baru feminis Indonesia secara aktif menantang norma-norma gender tradisional melalui media sosial, organisasi masyarakat, dan gerakan akar rumput. Mereka menciptakan ruang dialog tentang kesetaraan gender dan mengadvokasi perubahan kebijakan untuk melindungi hak-hak perempuan.
(2). Reformasi Kebijakan. Beberapa tahun terakhir ini telah ada undang-undang yang mengatur tentang diskriminasi di tempat kerja dan kekerasan dalam rumah tangga, meskipun implementasinya masih menjadi tantangan. Beberapa pemerintah daerah telah mulai memperkenalkan anggaran dan program yang responsif gender untuk mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan.
(3). Inovasi Perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang berpikiran maju menerapkan kebijakan untuk mendukung ibu yang bekerja, termasuk jam kerja yang fleksibel dan fasilitas penitipan anak di tempat kerja. Inisiatif-inisiatif ini secara perlahan membantu membentuk kembali budaya dan ekspektasi di tempat kerja.
Melihat ke Depan
Jalan untuk membongkar struktur patriarki di Indonesia membutuhkan upaya berkelanjutan di berbagai bidang : (1). Reformasi pendidikan untuk menghilangkan bias gender dalam kurikulum dan metode pengajaran. (2). Tanggung jawab media dalam menggambarkan representasi yang beragam dan memberdayakan perempuan dan laki-laki. (3). Implementasi kebijakan untuk memastikan kesetaraan di tempat kerja dan perlindungan dari diskriminasi. (4). Keterlibatan masyarakat untuk menantang praktik-praktik tradisional yang berbahaya sambil menghormati nilai-nilai budaya. (5). Dukungan untuk sekutu laki-laki yang menantang toxic masculinity dan peran gender tradisional
Memahami dan mengatasi budaya patriarki di Indonesia membutuhkan kesadaran akan seberapa dalam struktur ini terjalin dalam tatanan masyarakat. Meskipun perubahan mungkin terjadi secara bertahap, percakapan yang berkembang seputar kesetaraan gender, dikombinasikan dengan aktivisme dan reformasi kebijakan, menunjukkan masa depan di mana perempuan dan laki-laki Indonesia dapat membebaskan diri dari stereotip yang membatasi untuk mewujudkan potensi mereka sepenuhnya.
Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia, pertanyaannya bukanlah apakah struktur patriarki tradisional akan berubah, tetapi bagaimana transformasi ini dapat terjadi dengan cara yang menghormati warisan budaya sambil merangkul kesetaraan gender sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Jawabannya mungkin terletak pada menemukan keseimbangan antara penghormatan terhadap tradisi dan evolusi norma-norma sosial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang adil.
————– *** ————–