29 C
Sidoarjo
Thursday, October 31, 2024
spot_img

Krisis Integritas Lembaga Peradilan

Oleh :
Muhammma Ali Murtadlo
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Kasus tertangkapnya Zarof Ricar, pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), yang diduga menjadi makelar kasus dalam perkara Ronald Tannur, kembali mencoreng wajah peradilan Indonesia. Kasus ini mengungkap lemahnya integritas dan pengawasan dalam institusi yang seharusnya menjadi benteng keadilan. Dengan ditemukannya hampir 1 triliun rupiah dan emas batangan seberat 15 kilogram, terkuak bahwa peradilan kita memiliki persoalan korupsi yang melibatkan angka fantastis dan jaringan kuat. Ketika skandal ini terjadi beriringan dengan tuntutan kenaikan gaji oleh para hakim yang melakukan mogok dan demonstrasi beberapa waktu lalu, publik pun merasa dihadapkan pada paradoks besar yang menggerus kepercayaan mereka terhadap lembaga peradilan.

Tuntutan kenaikan gaji oleh para hakim dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih layak agar para hakim terhindar dari godaan korupsi. Namun, kasus yang menimpa pejabat tinggi MA ini membuktikan bahwa persoalan integritas tidak semata dapat diatasi dengan gaji yang besar. Kenaikan gaji mungkin mengurangi insentif ekonomi untuk korupsi, namun tetap tidak mampu menjamin perilaku yang etis jika tidak dibarengi dengan moralitas dan integritas yang kokoh. Dalam konteks teori keadilan distributif, peningkatan kesejahteraan memang penting, tetapi kasus ini menunjukkan bahwa yang lebih dibutuhkan adalah reformasi integritas yang komprehensif, bukan hanya pendekatan material.

Skandal ini juga memperburuk persepsi masyarakat terhadap lembaga peradilan yang sudah di ambang krisis kepercayaan. Ketika hakim yang seharusnya menjadi penjaga keadilan malah terlibat dalam kasus suap, masyarakat semakin skeptis bahwa peradilan mampu menjalankan fungsi utamanya secara adil. Dalam teori legitimasi, kepercayaan publik adalah fondasi dari otoritas lembaga peradilan. Namun, ketika integritas lembaga peradilan diragukan, legitimasi ini akan terkikis, dan dampaknya bisa meluas ke hilangnya kredibilitas keputusan-keputusan hukum yang diambil.

Berita Terkait :  Jaga Marwah Parlemen

Tidak hanya itu, praktik suap ini juga menunjukkan bahwa peradilan di Indonesia masih rentan terhadap pengaruh kekuatan finansial. Ketika keadilan bisa diperjualbelikan kepada pihak yang mampu membayar, masyarakat mulai mempertanyakan esensi lembaga peradilan sebagai institusi penegak hukum. Dalam konsep keadilan John Rawls, keadilan haruslah berfungsi sebagai nilai universal yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kepentingan ekonomi. Kasus Zarof Ricar membuat masyarakat semakin yakin bahwa nilai ini telah tergeser, dan keadilan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki akses ke uang dan kekuasaan.

Kasus ini menyoroti pentingnya reformasi pengawasan di tubuh lembaga peradilan. Pejabat tinggi MA yang memiliki kekuasaan justru terlibat dalam praktik yang melanggar hukum, menandakan bahwa sistem pengawasan internal tidak cukup untuk mencegah tindakan koruptif. Untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat, diperlukan pengawasan eksternal yang kuat dan transparan, melibatkan lembaga independen yang mampu memantau dan mengevaluasi kinerja para hakim serta pejabat tinggi di lembaga peradilan. Dengan pengawasan ini, lembaga peradilan dapat lebih akuntabel dan terbebas dari pengaruh kepentingan pribadi.

Selain reformasi pengawasan, sanksi yang tegas harus diterapkan kepada setiap pejabat yang terlibat dalam korupsi. Sanksi keras akan memberikan efek jera yang penting, dan menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam menangani korupsi di lingkungan peradilan. Namun, sanksi saja tidak cukup. Dibutuhkan pendidikan integritas yang berkelanjutan bagi para hakim dan pejabat peradilan agar nilai-nilai etika dan kejujuran benar-benar diinternalisasi. Pendidikan ini bukan hanya tentang pengetahuan hukum, tetapi juga tentang penguatan karakter yang dapat memotivasi para hakim untuk menjalankan tugas mereka dengan integritas.

Berita Terkait :  Mewaspadai Bahaya Obesitas Kabinet Baru

Di tengah isu kenaikan gaji hakim, kasus ini mengingatkan kita bahwa peningkatan kesejahteraan materi saja tidak akan menyelesaikan persoalan korupsi tanpa adanya reformasi mentalitas dan sistemik yang lebih mendalam. Peningkatan gaji harus dibarengi dengan penanaman nilai-nilai integritas, pengawasan yang ketat, serta sanksi yang keras bagi pelaku pelanggaran. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, diharapkan lembaga peradilan dapat kembali dipercaya sebagai institusi yang menegakkan keadilan, bukan sebagai tempat bagi permainan kepentingan pribadi.

Keterlibatan masyarakat dan media dalam pengawasan juga penting dalam mendukung reformasi peradilan. Tekanan publik dapat menjadi kontrol sosial yang efektif, mengingatkan lembaga peradilan bahwa kepercayaan publik adalah modal utama mereka. Keterlibatan ini juga memastikan transparansi dalam proses hukum sehingga masyarakat dapat melihat bahwa keadilan ditegakkan dengan cara yang bersih dan akuntabel. Dengan keterlibatan publik yang kuat, lembaga peradilan diharapkan bisa lebih terbuka dan responsif terhadap tuntutan integritas.

Kasus Zarof Ricar ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk menegaskan komitmen mereka dalam membenahi peradilan dari akarnya. Jika tidak ada tindakan konkret yang dilakukan, maka kasus serupa akan terus berulang dan memperburuk krisis kepercayaan terhadap peradilan. Reformasi harus mencakup pengawasan eksternal, transparansi, serta pendidikan integritas yang berkesinambungan, agar pejabat dan hakim di lingkungan MA dapat menjalankan tugas mereka tanpa tergoda untuk menyalahgunakan wewenang.

Berita Terkait :  Kritisi PON XXI Meluas

————- *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img