Tuntutan mengungkap “kejujuran” sejarah perang sabil (revolusi) Surabaya 10 November 1945, semakin menguat. Perang besar yang berkobar bukan terjadi sekonyong-konyong. Melainkan dimulai dengan terbitnya resolusi Jihad melawan penjajah, di-fatwa-kan tahun 1945, pada 22 Oktober 79 tahun silam, di Surabaya. Resolusi jihad menjadi kesepakatan dalam forum majelis ulama NU se-Jawa dan Madura. Serta berlanjut seruan fatwa jihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan cara perang!
Fatwa kewajiban jihad perang revolusi melawan penjajah kolonial, dinyatakan oleh Rois Akbar (Ketua Besar) Syuriyah NU, hadratus-syeh Hasyim Asy’ary. Resolusi jihad tidak dapat dipisahkan dari serangkaian peristiwa sebelumnya. Setelah kemenangan Sekutu atas Jepang yang ditandai menyerahnya Jepang tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945. Maka Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan secara de facto tanggal 17 Agustus. Jika tidak, Indonesia akan kembali dalam penjajahan (koilonialisme Belanda).
Kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU), Belanda dan Jepang bukan pemegang kekusaan yang sah. Maka kedatangan NICA (Belanda) yang membonceng kekuatan Sekutu (dipimpin Inggris, dan Amerika) dipandang sebagai agresi. Dipastikan NICA akan menentang kekuasaan muslim yang sah. Yakni pemerintahan Republik Indonesia, yang mayoritas muslim, dan dipimpin seorang muslim. Maka tidak ada pilihan lain, wajib mempertahankan NKRI. Walau harus mengusir dengan cara berperang.
Tidak takut melawan tentara sekutu, yang baru saja memenangkan Perang Dunia kedua. Kalangan ulama Indonesia, sebelumnya telah menjalin hubungan internasional dengan sesama ulama di berbagai belahan dunia. Sangat memahami hukum internasional. Diperoleh pemahaman terhadap paradigma “Kesepakatan Wina tahun 1938.” Bahwa Indonesia bisa dijajah kembali, setelah Jepang kalah perang. Sehingga perlu ditempuh Perang Sabil.
Mengenang Resolusi Jihad, merupakan tekad kalangan ulama mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI yang tidak diakui Belanda. Sehingga setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Belanda merasa “memiliki” kembali Indonesia. Terbukti dari berbagai aksi keturunan Belanda di berbagai daerah, mulai merebut kembali gedung-gedung pemerintahan. Serta mendatangi kantor-kantor pemerintah yang dikuasasi Jepang. Masyarakat resah, keturunan Belanda merasa “superior.” Juga mulai terjadi konflik fisik dengan tokoh-tokoh pribumi.
Peringatan resolusi jihad, kini ditandai sebagai Hari Santri Nasional (HSN), setiap tanggal 22 Oktober. Namun ironis, tema HSN 2024, dan thema song, terasa lembek. Juga tidak menggambarkan semangat kepemudaan (santri). Tidak menggambarkan suasana 10 November 1945 di Surabaya. Beda dengan tema HSN Pada HSN (ke-9) tahun 2023 dipusatkan di Surabaya, bertema, “Jihad Santri Jayakan negeri.” Presiden Jokowi, menjadi Inspektur upacara.
Mengenang fatwa jihad di-sosialisasi-kan melalui pengajian di kampung-kampung. Bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib dilaksanakan seluruh rakyat. Tak terkecuali anak-anak, dan perempuan, wajib berpartisipasi dalam perang. Masing-masing dengan peran berbeda. Pengajian telah digelar sejak pertama kali fatwa resolusi jihad dinyatakan oleh hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary.
Fatwa jihad, direspons positif santri, dan seluruh pemuda. Benar-benar berujung perang terbesar sepanjang sejarah nasional. Dimulai akhir Oktober, berpuncak pada 10 November 1945. Dalam ke-sejarah-an, tentara Sekutu mengenang perang Surabaya 10 November 1945, sebagai yang terbesar setelah Perang Dunia II. Perang Surabaya, juga memicu perang di kawasan lain seantero pulau Jawa. Antara lain, perang Ambarawa (selatan Semarang, di Jawa Tengah), dipimpin Panglima Besar Sudirman.
Sejarah Perang Sabil 10 November 1945, di Surabaya, merupakan realita ke-gigih-an rakyat mempertahankan Kemerdekaan NKRI. Sebagai efek Fatwa (dan Resolusi) Jihad. Walau sering di-sembunyi-kan, dalam dokumentasi sejarah.
——— 000 ———