Makam Mbah Konteng atau diduga kuat Sumo Jani di Geneng, Jombang. foto: arif yulianto/bhirawa.
Menelusuri Makam Mbah Konteng di Geneng Jombang
Jombang, Bhirawa.
Di pemakaman umum Desa Geneng, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang terdapat sebuah makam dengan penanda keramik segi empat warna hijau di nisannya. Makam ini adalah makam Mbah Konteng yang meninggal pada sekitar tahun 1970 – an.
Menurut salah satu cucunya yang bernama Yati yang tinggal di Geneng, Jombang, kakeknya yang berjuluk Mbah Konteng berasal dari daerah Kabuh, Jombang.
Dia menyebutkan, Mbah Konteng masih memiliki hubungan keluarga dengan Lurah Pumpungan Kabuh yang menjabat kepala desa sewaktu Yati masih bersekolah di Sekolah Dasar. Masa itu adalah masa sekitar tahun 1950 – an atau tahun sekitar tahun 1960 – an.
Tak ada nama lain selain Mbah Konteng yang diingat Yati. Bahkan nama asli kakeknya itu dia pun mengaku tidak mengetahui.
Namun, menurut warga Desa Plosogeneng, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Suparno, dia mengenal orang yang disebut dengan Mbah Konteng itu adalah Mbah Sumo.
Suparno sebelum tinggal di Plosogeneng, merupakan warga Desa Geneng. Dia pernah bertemu dengan Mbah Sumo pada sekitar tahun 1968 dan usia Mbah Sumo sudah sekitar 80 tahun serta sakit-sakitan.
Saat itu, Suparno mendengar informasi dari anak Mbah Sumo bahwa Mbah Sumo pernah merawat Bung Karno kecil di Ploso, Jombang.
“Ngunu-ngunu tau momong Bung Karno nang Ploso (gitu-gitu pernah merawat Bung Karno di Ploso),” kata Suparno menirukan cerita dari anak Mbah Sumo, beberapa waktu yang lalu.
Lantas mengapa Mbah Sumo menjadi penting untuk dibicarakan. Hal ini menyambung dengan cerita tutur keluarga Situs Persada Soekarno nDalem Pojok Wates Kediri yang menyebut beberapa nama terkait dengan kelahiran Bung Karno serta eksistensi Bung Karno di Jombang.
Antara lain adalah nama Mbah Suro, orang yang memegang bayi Bung Karno saat lahir, kemudian Sumo Jani adalah orang yang mengubur ari-ari bayi Soekarno atau Bung Karno. Selain itu cerita tutur keluarga nDalem Pojok juga menyebutkan nama Djamilun dan Mustari.
nDalem Pojok Wates Kediri merupakan tempat Bung Karno muda digembleng. Di tempat ini tinggallah R.M Soerati Soemosemojo, ayah angkat Bung Karno.
Mbah Suro atau Mas Kiai Suro Sentono sudah terdeteksi eksistensinya. Dia adalah orang sakti dari Kabuh, Jombang. Semasa Bung Karno tinggal di Istana Jogjakarta pada tahun 1946 – 1949, Mbah Suro inilah yang menjadi penasehat spiritual Sang Proklamator. Makam Mbah Suro terletak di Jogjakarta, satu kompleks dengan makam pahlawan nasional, H.O.S Cokroaminoto.
Kemudian Djamilun atau Raden Djamilun diketahui merupakan saudara tiri Bupati Jombang pertama, R.A.A Soeroadiningrat IV. Baik R.A.A Soeroadiningrat IV dan Raden Djamilun adalah putra dari Kanjeng Sepuh Sedayu, Gresik.
Seperti pernah ditulis sebelumnya, Bung Karno pernah tinggal di Ploso Jombang saat ayahnya, Raden Soekeni Sosrodihardjo menjadi mantri guru di sekolah pada masa kolonial Belanda. Beselit tugas Raden Soekeni Sosrodihardjo ke Ploso adalah bulan Desember 1901. Dan tulisan tangan Raden Soekeni menyebutkan bahwa Raden Soekarno atau Bung Karno lahir 6 Juni 1902.
Sekadar diketahui, berdasarkan bukti fisik sejumlah bangunan, bukti tertulis, dan testimoni-testimoni warga Jombang, Bung dilahirkan di Ploso pada tanggal 6 Juni 1902.
Pada masa itu Ploso dan Kabupaten Jombang masih menjadi bagian dari wilayah Karesidenan Surabaya. Hal itu dibuktikan dengan adanya dokumen laporan pekerjaan sipil masa kolonial Belanda pada tahun 1894 yang menyebutkan diksi Soerabaja (Surabaya) untuk desa-desa yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Jombang.
Kabupaten Jombang sendiri baru terbentuk pada tahun 1910 seiring dengan dilantiknya R.A.A Soeroadiningrat IV atau Kanjeng Sepuh Jombang sebagai Bupati Jombang pertama.( (arif yulianto/bhirawa.)