Oleh :
Surokim As
Dosen Komunikasi Politik,
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama Universitas Trunojoyo Madura
Prof Muhammad (2019) pernah mengatakan bahwa konstelasi politik nasional sangat bergantung pada Jawa Timur. Kondusif tidaknya situasi dan kondisi politik nasional amat ditentukan dari kondisi politik di Jawa Timur. Dengan demikian Jawa Timur hampir selalu menjadi barometer dan sentrum dalam arena politik Nasional. Tak syak lagi Jawa Timur akhirnya juga menjadi salah satu arena kontestasi pilkada yang menarik, menantang, dan berat. Berdasarkan pengalaman mengikuti pilkada langsung, wilayah ini selalu menghadirkan banyak drama dan misteri di setiap gelaran pilkada. Mengapa ?
Pertama, Pilkada Jawa Timur ini masuk dalam kategori pilkada liga utama di Indonesia sehingga selalu menjadi atensi dan prioritas bagi partai politik dan elit kekuasaan. Wilayah ini dianggap menjadi wilayah kehormatan di level politik nasional setelah Jakarta. Sebab kemenangan di wilayah ini akan memiliki efek dan resonansi kuat di arena politik nasional.
Kedua, jumlah pemilih di wilayah ini cukup besar dan beragam. Menurut data KPU Jawa Timur pemilih diwilayah ini sudah mencapai 31.280.418, dengan tambahan pemilih baru sebesar 73.000 orang. Jumlah pemilih ini merupakan 15% suara nasional. Jumlah terbesar kedua setelah Jawa Barat, tetapi variasi pemilihnya jauh lebih heterogen dan kompleks. Perolehan suara di wilayah ini juga sering merepresentasikan perolehan suara parpol nasional di tingkat nasional dengan perkecualian PKB.
Jika dicermati dari aspek demografis, khususnya sosiokultural, pemilih tersebar dalam banyak segmen yang heterogen mulai dari desa, pemilih tradisional, periferi hingga kota, pemilih rasional modern. Komposisi dan kontribusi suara jika mengacu kepada peta dapil DPR RI maka bisa dilihat dapil 1 memiliki kontribusi paling besar yakni sebesar 11,7%. Berturut-turut dapil 2 sebesar 7,7%, dapil 3 sebesar 7,8%, dapil 4 sebesar 8,9%, dapil 5 sebesar 9,1%, dapil 6 sebesar 10,9%, dapil 7 sebesar 9,7%, dapil 8 sebesar 11,3%, dapil 9 sebesar 6,3%, dapil 10 sebesar 6,4% dan dapil 11 sebesar 10 %. Sebagian besar pemilih di wilayah ini adalah warga nahdliyin yang mencapai 81% dengan pertumbuhan pemilih rasional mencapai 28%.
Secara geopolitik kultural wilayah Jawa Timur dikonstruksi dalam banyak ragam latar wilayah, penduduk, budaya dan sejarah yang khas dengan didominasi kalangan nasionalis relegius. Peta budaya di wilayah ini terdiri atas budaya arek, mataraman, pandalungan, pantai utara dan Madura yang masing-masing memiliki kekhasan dalam pilihan politik.Selain itu efek gema (bandwagon) politik dari wilayah ini juga santer dan nyaring di level nasional mengingat banyak tokoh nasionalberasal dari wilayah ini. Demikian juga potensi sumber daya alam sehingga banyak proyek strategis nasional berada di wilayah ini.
Ketiga, suara Madura kerap menjadi penentu dan misterius. Sejarah pemilukada langsung di wilayah ini selalu menarik. Tak jarang menghadirkan drama di arena kompetisi pilkada Jawa Timur yang selalu berakhir di meja mahkamah konstitusi hingga mengungkap banyak rahasia menarik. Dalam situasi kompetitif dan ketat kerapkali perolehan suara di wilayah ini kerap menjadi liar dan akhirnya hasil pilkada Jawa Timur kerap ditentukan di wilayah ini.
Mengacu pada data KPU Jawa Timur, jumlah suara potensial Madura mencapai 3juta lebih dan jumlah ini adalah 10% dari jumlah pemilih Jaw Timur. Jika ditambah dengan jumlah suku Madura di Jawa Timur diluar kawasan Madura bisa mencapai 20% dari total pemilih Jawa Timur. Hal ini membuat suara Madura selalu menggiurkan dalam pilkada Jawa Timur. Apalagi relasi kuasa patron di Madura masih sangat dominan sehingga suara kerap menjadi alat komoditas politik.
Sejauh ini situasi di lapangan juga belum banyak berubah dan Madura tetap menjadi dark zone suara ajaib di Jawa Timur. Hal itu juga yang membuat angka money politic di wilayah ini juga tergolong besar jika dibandingkan dengan wilayah yang lain. Demikian juga hasil survey pilkada sering tidak cocok antara suara arus bawah dengan hasil perolehan suara resmi. Bahkan sering menjadi olok olok di tingkat nasional karena partisipasi dan jumlah suara di TPS bisa mencapai 100% dan surat cadangan bisa terpakai semua.
Keempat, paslon terpilih harus banyak memiliki surplus politik. Paslon harus memiliki kedekatan dengan semua segmen pemilih sehingga bisa meningkatkan peluang keterpilihan. Jika melihat profil pemilih Jawa Timur kita dapat melihat bahwa pemilih beragam, tetapi cenderung lebih moderat. Kian banyak variabel perilaku memilih yang dipertimbangkan. Hal itu bisa kita cermati dari tingginya harapan terhadap para kandidat. Surplus itu bisa teknis dan juga nonteknis menyangkut relasi kuasa yang dimiliki sehingga kandidat yang ikut kontes di Jawa Timur hampir bisa dipastikan adalah kandidat dengan kualitas grade A atau kandidat level unggul nasional.
Kelima, peningkatan jumlah pemilih rasional dan masifnya penggunaan media politik digital yang bisa berpengaruh terhadap swing voters yang masih 20%. Power netizen di dunia maya bisa menjadi kekuatan cancel culture yang efektif (Aisyah, 2023). Fenomena pemilukada 2024 juga akan ditandai dengan menguatnya pemilih milenial yang jumlahnya mencapai 56% dan pertumbuhan pemilih rasional mencapai 28%. Selain itu juga meluasnya politik virtual digital dan massifnya penggunaan medsos dalam kampanye politik.
Semua itu membuat kompleksitas dan keunikan tersendiri dalam pilkada. Dengan memahami geopolitik dan dinamika politik Jawa Timur maka laga pilkada Jawa Timur selalu menarik diikuti. Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan effort lebih dari para paslon dan tim pemenangan. Belum lagi konteks pilkada yang berubah, semua itu perlu strategi lebih jitu dalam mendekati pemilih dengan beragam strategi yang lebih presisi. Selamat mengikuti dan berpartisipasi dalam arena kontestasi politik Jawa Timur yang kompleks dan berat.
———— *** ————–