31 C
Sidoarjo
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pendidikan di Indonesia Telah Mati

Oleh :
Femas Anggit WN
Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah

Sering kita mendengar di seminar-seminar maupun membaca tulisan di buku-buku, majalah, atau koran yang menyatakan pendidikan merupakan motor penggerak kemajuan sebuah bangsa. Barangkali kita juga teramat familiar dengan quote dari Nelson Mandela: “Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa anda gunakan untuk mengubah dunia.”

Secara lugas Indonesia menempatkan pendidikan sebagai salah satu tujuan nasional. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan komitmen untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Menengok realitas yang ada, tampaknya komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa belum benar-benar terlihat. Korupsi, pelecehan seksual, tawuran, dan berbagai tindak kriminal lainnya masih bersimaharajalela. Pun jurang ketimpangan yang kian lebar dan dalam. Semua itu menimbulkan pertanyaan: apakah pendidikan di Indonesia benar-benar hidup?

Reduksi Makna Pendidikan
Kita perlu memulai dari ihwal yang paling mendasar yakni makna pendidikan. Mengacu pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara, pendidikan lebih dari sekedar pengajaran meski keduanya tidak dapat dipisahkan. Ki Hadjar Dewantara (1977) dalam bukunya Bagian Pertama-Pendidikan menyatakan: “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.”

Singkatnya, pendidikan merupakan proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Dalam pemaknaan lain, pendidikan dapat dimaknai sebagai proses dan hasil. Sebagai proses artinya berbagai interaksi antara individu dengan lingkungannya dan hasilnya adalah perubahan baik lahir maupun batin.

Apa yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia adalah reduksi makna pendidikan tersebut. Ketika membicarakan pendidikan, banyak kesalahpahaman yang mengidentikkannya dengan sekolah. Padahal, sekolah hanyalah bagian dari upaya pelembagaan pendidikan secara formal. Lebih-lebih, orientasi utama sebagian besar masyarakat adalah agar kelak bisa memiliki pekerjaan mapan: PNS misalnya.

Berita Terkait :  Mewujudkan Pilkada Damai

Hal tersebut tak terlepas dari perjalanan panjang sejarah pendidikan di Indonesia yang mereduksi tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pada masa Orde Baru misalnya, garis besar penyelenggaraan pendidikan ditujukan untuk mencetak tenaga-tenaga yang siap pakai untuk mendukung paradigma “pembangunan” yang diusung Soeharto. Meski tantangan akses sedikit terjawab melalui didirikannya SD-SD Inpres, corak pendidikan pada era itu begitu militeristik dan penuh indoktrinasi.

Pudarnya Tri Pusat Pendidikan
Darmaningtyas (2015) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan yang Memiskinkan menyatakan bahwa pembangunan SD-SD Inpres di sisi lain telah memiskinkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Pendirian gedung-gedung sekolah tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi lokal sehingga mematikan sekolah-sekolah swasta yang telah dirintis oleh masyarakat jauh sebelum pemerintah mengambil peran. Apalagi kala itu pemerintah juga memberi stigma buruk pada mereka yang menolak SD Inpres dengan tuduhan “tidak mendukung pembangunan.”

Pada titik itulah tri pusat pendidikan yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan pergerakan pemuda/masyarakat mulai memudar sinerginya. Pudarnya tri pusat pendidikan masih terasa hingga sekarang. Melihat anggaran pendidikan, masyarakat menganggap bahwa negara telah mampu menyelenggarakan pendidikan sehingga perlahan masyarakat menjadi apatis terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.

Banyak orang tua yang memasrahkan pendidikan anaknya seluruhnya kepada sekolah. Sementara di sisi lain, sekolah memiliki kecenderungan mereduksi peran serta keluarga dalam pendidikan. Kontribusi orang tua terhadap pendidikan direduksi menjadi sebatas pada sumbangan uang, misalnya berupa sumbangan sukarela atau ketika ada acara perpisahan dan study tour.

Pudarnya sinergi tri pusat pendidikan itu mengakibatkan tercerabutnya akar kehidupan peserta didik dari tanah tempat ia tumbuh dan berkembang. Mereka tidak memiliki kepekaan terhadap permasalahan sosial di sekitarnya. Jasmaniah dan rohaniah mereka terkungkung, dikelilingi tembok tebal kelas dan pagar tinggi sekolah.

Berita Terkait :  Integrated Farming untuk Akuakultur Berkelanjutan

Problem Tak Kunjung Selesai
Menengok pendidikan di Indonesia, permasalahan yang sama dari waktu ke waktu tak kunjung terselesaikan. Ketidakmerataan sarana dan prasarana, ketidakmerataan akses, profesionalisme dan kesejahteraan guru. Ironisnya, pemerintah tampak tidak memiliki keseriusan dalam menangani semua permasalahan itu. Kecenderungan solusi yang ditawarkan selalu, dan selalu mengarah pada perubahan kurikulum.

Padahal, terdapat problem-problem fundamental yang perlu diselesaikan. Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menekankan perlunya cetak biru pendidikan Indonesia. Cetak biru secara komprehensif diperlukan sebagai penuntun jalan panjang pendidikan Indonesia sehingga jelas apa yang direncanakan dan apa yang hendak dicapai.

Permasalahan kemerataan sarana dan prasarana serta akses tak kunjung terjawab. Setiap tahun ajaran baru, dunia pendidikan Indonesia selalu kisruh berkenaan dengan sistem PPDB zonasi. Lantaran tujuan awal sistem tersebut untuk memudahkan dan memeratakan akses, sayang seribu sayang tidak disertai komitmen pemerintah untuk meratakan sarana dan prasarana.

Hal tersebut mengakibatkan label sekolah unggul dan tidak unggul masih melekat kuat di kepala masyarakat terkhusus orang tua. Ketimpangan kualitas terasa nyata sehingga tradisi saling senggol untuk dapat menyekolahkan anaknya di sekolah dengan fasilitas terbaik pun masih terjaga. Akhirnya, segala upaya akal-akalan pun masih marak terjadi setiap penerimaan peserta didik baru.

Problem profesionalisme dan kesejahteraan guru seolah menjadi misteri yang terselimuti kabut tebal. Padahal dulu pada periode sekitar 1966 kita pernah mengekspor guru ke negeri tetangga, Malaysia. Namun, hal itu kini hanya tinggal sebagai cerita lama.

Berita Terkait :  Mewaspadai Ancaman Megathrust Politik

Neoliberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan Tinggi
Satu hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah dugaan corak pendidikan tinggi kita yang mengarah pada neoliberalisme. Disinyalir neoliberalisasi pendidikan tinggi tampak pada perguruan tinggi yang berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum). Di mana perguruan tinggi dengan status ini memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya.

Jelas dalam hal tersebut pemerintah minim kehadirannya dan seolah melepas perguruan tinggi dalam persaingan pasar bebas. Perguruan tinggi saling bersaing untuk mempertahankan eksistensinya. Salah satu imbasnya adalah kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang ugal-ugalan, seperti terlihat pada kasus beberapa waktu yang lalu. Ironisnya, dalam menyikapi kasus tersebut pemerintah seolah saling lempar tanggung jawab dengan pihak kampus.

Hal tersebut membawa implikasi berupa komersialisasi yang berorientasi pada keuntungan materialistik. Sebagaimana pendapat Henry Giroux (2011) dalam bukunya On Critical Pedagogy yang menyatakan bahwa dunia pendidikan saat ini sedang mengalami proses komodifikasi, yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan untuk tujuan keuntungan ekonomis.

Imbas dari hal tersebut jelas, menurunnya kesempatan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin. Akibatnya, jurang ketimpangan kian lebar dan dalam. Mereka yang kaya memiliki peluang untuk kian kaya sebab memiliki kapital kuat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Sementara mereka yang miskin hanya tinggal gigit jari sambil melayangkan ingatan pada mimpi-mimpinya.

Carut marut dunia pendidikan Indonesia itu barangkali membawa pikiran pesimistis. Bahwa pendidikan di Indonesia telah mati. Akan tetapi, kita mesti tetap memelihara harapan meskipun itu secercah. Sebab dengan begitu memungkinkan kita untuk tetap terjaga dan bertanya-tanya: bagaimana kita menghidupkannya?

————- *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img