27 C
Sidoarjo
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Memahami Perang Merek antarUMKM

Perebutan Merek Dagang “Harvest” dan “Harvestluxury”


Oleh :
Anis Hidayatie
Pegiat dan pemerhati masalah UMKM

Setiap Rabu, Pengadilan Negeri Kota Pasuruan yang biasanya lengang mendadak berubah riuh ketika kasus Bantal Harvest disidangkan. Pengusaha bantal dan kasur dari seluruh Kabupaten Pasuruan berkumpul untuk menyaksikan jalannya sidang ini. Tidak hanya menarik perhatian media, tetapi juga menjadi pembicaraan hangat di kalangan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kasus ini melibatkan dua perusahaan bantal dari Pasuruan yang memperebutkan hak merek dagang “Harvest” dan “Harvestluxury”.

Pada dasarnya, ini adalah kasus perseteruan antara dua UMKM yang keduanya mengklaim memiliki hak atas nama merek “Harvest”. Hal ini mencerminkan bagaimana perselisihan merek dagang bisa terjadi di berbagai sektor, bahkan di kalangan usaha kecil yang seharusnya lebih fokus pada persaingan sehat daripada gugatan hukum yang melelahkan. Kasus ini bisa diibaratkan seperti Aqua, merek air mineral terkenal, digugat oleh merek lain bernama Aquase, yang jelas-jelas merupakan persaingan yang tidak seimbang.

Harvestluxury Melaporkan Harvest: Benarkah Terjadi Pelanggaran Merek?

Kasus ini bermula ketika Harvestluxury, merek yang baru terdaftar pada tahun 2023, melaporkan Deby Afandi, pemilik merek Harvest, atas dugaan pelanggaran merek. Harvestluxury mengklaim bahwa penggunaan nama Harvest oleh Deby merugikan bisnis mereka karena kesamaan nama. Namun, faktanya, merek “Harvest” sudah terdaftar sejak tahun 2008 atas nama Andri Wongso, dan Deby Afandi telah memperoleh izin dari Andri untuk menggunakan nama tersebut sejak tahun 2019.

Jika kita melihat hukum kekayaan intelektual di Indonesia, prinsip yang dipegang adalah first to file, artinya siapa yang pertama kali mendaftarkan merek tersebut yang akan mendapat perlindungan hukum. Dalam hal ini, Andri Wongso, sebagai pendaftar pertama, jelas memiliki hak atas nama “Harvest”, dan Deby Afandi yang mendapatkan izin dari Andri untuk menggunakan merek tersebut seharusnya juga dilindungi oleh hukum.

Berita Terkait :  Jawa Timur Menyambut Takdir: Sebuah Renungan di Masa Tenang Pilgub

Namun, pertanyaan terbesar yang muncul adalah, mengapa Harvestluxury merasa berhak atas nama tersebut dan langsung melaporkan Deby hanya 11 hari setelah mendapatkan sertifikat HAKI (Hak Kekayaan Intelektual)? Proses hukum yang berjalan dengan cepat setelah laporan ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pelaku UMKM, seolah-olah ada upaya dari Harvestluxury untuk memonopoli nama “Harvest” yang sudah lebih dulu digunakan oleh orang lain.

Cepatnya Penetapan Tersangka
Laporan Harvestluxury diterima pada 30 Maret 2023, hanya selang beberapa hari setelah merek mereka terdaftar. Dalam waktu singkat, Deby Afandi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polresta Pasuruan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang proses hukum yang dilakukan secara cepat tanpa adanya upaya mediasi atau somasi sebelumnya.

Deby Afandi bahkan sempat akan ditahan dengan tangan diborgol sebelum akhirnya dibebaskan setelah membayar biaya penangguhan penahanan sebesar Rp 25 juta. Mengapa seseorang yang menjalankan bisnis dengan izin sah harus diperlakukan seperti kriminal tanpa adanya proses yang jelas dan adil? Dalam konteks KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), penahanan seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Dalam kasus Deby, tidak ada indikasi bahwa salah satu dari tiga syarat tersebut terpenuhi, yang berarti seharusnya penahanan tidak perlu dilakukan.

Mengapa Penahanan Tidak Diperlukan?
Berdasarkan Pasal 21 KUHAP, penahanan tersangka hanya dapat dilakukan jika ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Selain itu, syarat objektif lain adalah jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih.

Berita Terkait :  SD, SMP, Wajib Gratis

Dalam kasus ini, tuduhan terhadap Deby merujuk pada Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, yang menyatakan bahwa pelanggaran merek diancam dengan hukuman penjara paling lama empat tahun. Artinya, ancaman hukuman dalam kasus ini tidak memenuhi syarat objektif untuk dilakukan penahanan. Jika demikian, mengapa Deby harus menghadapi ancaman penahanan?

Quo Vadis Hukum Merek di Indonesia?
Kasus ini tidak hanya menjadi perselisihan antar dua pengusaha kecil, tetapi juga menjadi uji coba bagi sistem hukum merek di Indonesia. Sejauh ini, sistem hukum kekayaan intelektual kita menerapkan prinsip first to file, yang artinya merek yang didaftarkan lebih dulu yang akan mendapatkan perlindungan hukum.

Namun, jika pada akhirnya Harvestluxury memenangkan gugatan ini, kita harus mempertanyakan kembali keberadaan dan relevansi prinsip tersebut. Bagaimana mungkin merek yang baru terdaftar pada tahun 2023 dapat memenangkan gugatan terhadap merek yang sudah ada sejak tahun 2008? Jika ini terjadi, maka akan banyak UMKM yang khawatir tentang keamanan merek dagang mereka, meskipun mereka telah mendaftarkannya lebih dulu.

Ibaratnya, apakah mungkin jika Aquase menggugat Aqua dan memenangkan gugatan tersebut? Rasanya tidak masuk akal. Namun, dengan melihat kasus Harvest dan Harvestluxury, sepertinya kita mulai memasuki wilayah di mana hal-hal yang sebelumnya dianggap mustahil menjadi mungkin.

Dukungan Asurban dan Solidaritas UMKM
Asurban (Asosiasi Kasur dan Bantal), yang dipimpin oleh Achmad Yani, bersama dengan berbagai organisasi UMKM lainnya, telah menyuarakan dukungan mereka untuk Deby Afandi. Mereka khawatir bahwa kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi UMKM di Indonesia. Jika satu pengusaha bisa menggugat pengusaha lain hanya karena kemiripan nama merek, apa yang akan terjadi pada ribuan UMKM lainnya yang mungkin mengalami hal serupa?

Berita Terkait :  Mematahkan Stereotip Ayah di Indonesia

UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk berhadapan dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan. Jika kasus ini berlanjut dan Harvestluxury memenangkan gugatan, maka kita akan melihat gelombang ketidakpastian di kalangan pelaku UMKM, yang pada akhirnya akan merugikan sektor ekonomi yang sangat penting bagi Indonesia.

Kesimpulan: Harus Ada Kepastian Hukum
Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Tidak hanya menunjukkan pentingnya melindungi merek dagang, tetapi juga menyoroti kelemahan dalam sistem hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Ada kebutuhan mendesak untuk memperjelas aturan main dalam perselisihan merek dagang, terutama bagi UMKM yang sering kali menjadi korban dalam pertarungan hukum yang tidak adil.

Keberpihakan hukum pada yang benar, bukan pada yang kuat, harus menjadi prioritas. Para pelaku UMKM seperti Deby Afandi yang telah menggunakan merek dengan itikad baik dan berdasarkan izin yang sah seharusnya dilindungi oleh hukum. Jika tidak, maka kita akan terus melihat kasus serupa terjadi, dan pada akhirnya akan merugikan semua pihak.

———– *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img