Berbagai keluhan dan kritik pedas dilontarkan segenap atlet, dan manajer, menjadi viral di media sosial. Bahkan Koordinator anti-korupsi, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), segera akan melaporkan dugaan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). PON XXI baru pertama kali digelar di dua propinsi, Aceh, dan Sumatera Utara. Namun dua propinsi penyelenggara tidak menunjukkan kesiapan memadai. Infrastruktur belum tuntas. Bahkan atapnya sudah ambruk diterjang angin.
Konon, ongkos penyelenggaraan PON XXI, sangat “minimalis.” Sehingga pembangunan infrastruktur ke-olahraga-an di Aceh dan Sumatera Selatan, juga terkesan seadanya, sebisa-bisanya. Kritisi ke-tidak siap-an dua propinsi penyelenggara PON XXI, makin meluas. Banyak infrastruktur di Aceh, dan Sumatera Utara, belum siap. Area sekitar venue masih penuh debu, dan becek dgenangi air. Lebih ironis, jatah makan atlet sering telat dikirim. Tak jarang sudah basi.
Penyelenggaraan PON di dua propinsi, tergolong pertama di Indonesia. Ditetapkan melalui SK Menteri Pemuda dan Olahraga, pada November tahun 2020. Sebenarnya cukup waktu (sekitar 45 bulan sebelum penyelenggaraan PON). Namun terasa dipaksakan, sampai perlu mengubah PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 17 tahun 2007 Tentang Pendanaan dan Pekan dan Kejuaraan Olahraga. Menjadi PP Nomor 7 Tahun 2020. Sejumlah pasal diubah. Terutama pasal 12, yang mengatur calon tuan rumah.
Hasil perubahan, nampak pada pasal 12 ayat (2), dinyatakan, “Calon tuan rumah pelaksana pekan olahraga nasional … dapat terdiri atas 1 (satu) pemerintah provinsi atau gabungan pemerintah provinsi.” Tetapi PP juga memberi “warning” tentang kesiapan calon tuan rumah PON. Tercantum pada pasal 12 ayat (3), dinyatakan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi pemprop calon tuan rumah. Juga ketersediaan parasarana dan sarana, serta kemampuan pemeliharaan dan perawatan.
Propinsi calon tuan rumah, diusulkan oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), dengan berbagai pertimbangan. Termasuk keadilan pembinaan prestasi keolahragaan. Namun anehnya, walau sudah diubah, masih terdapat klausul “tuan rumah tunggal.” Tercantum dalam Pasal 12 ayat (6), dinyatakan, “Menteri menetapkan 1 (satu) tuan rumah pelaksana pekan olahraga nasional.” Nyata-nyata terdapat frasa kata “1 (satu) tuan rumah.”
Total anggaran PON yang dialokasikan di wilayah Sumut mencapai Rp 2,09 triliun. Serta di Aceh Rp 1,85 trilyun. Berdasarkan dokumen Pemprop Aceh, APBD Aceh tahun 2024 hanya sebesar Rp 11,7 trilyun. Sebesar 4,31% (setara Rp 504 milyar) digunakan untuk penyelenggaraan PON XXI. Konon anggaran untuk PON menimbulkan kegaduhan, karena dipagu sepihak oleh tim anggaran gubernur, tanpa persetujuan DPR Aceh. Begitu pula rekomendasi DPR Aceh untuk mencari sumber lain (Dana Alokasi Khusus, sumber APBN) tidak digubris tim gubernur.
Postur APBD Sumatera Utara, tak jauh beda, hanya sebesar Rp 14,673 trilyun. Sebesar 40% sudah “wajib” untuk penyelenggaraan Pemilu, Pilkada 2024 (meliputi pemilihan gubernur, serta 33 Pilkada Kabupaten dan Kota). Pagu untuk PON XXI hampir dua kali Pemprop Aceh (sebesar Rp 1,06 trilyun). Niscaya, sangat jauh dari cukup, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Maka dianggarkan dari APBN, sampai menjadi Rp 3,94 trilyun. Dikumpulkan dari Kementerian PUPR (yang terbesar), yang Kemenpora (yang kecil).
Sukses PON selalu di-gelora-kan. Terdiri dari sukses penyelenggaraan, sukses prestasi, sukses pemberdayaan ekonomi rakyat. Juga wajib mengarah pada sukses administrasi, dan sukses pemanfaatan fasilitas pasca-even. Namun berdasar pengalaman PON yang lalu, banyak pejabat daerah yang lalai (dan abai). Sehingga terjebak tindak pidana korupsi (Tipikor). Seperti terjadi pada pembangunan kompleks GOR Jakabaring, Palembang. Menjerumuskan banyak tokoh.
——— 000 ———