24 C
Sidoarjo
Thursday, September 19, 2024
spot_img

Spiritualitas Pendidik


Oleh:
Edi Sutomo
Staf Pengajar MAN 2 Kota Malang

Dalam sejarah perang dunia II sebuah peristiwa pernah dicatat dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa besar yang memporak-porandakan negara Jepang. Bom atom dijatuhkan di kota Nagasaki dan Hiroshima yang menjadi klimaks serangan udara AS. Kondisi Jepang pasca bom atom sungguh sangat memprihatinkan. Saat keadaan negara sudah sedemikian hancurnya, Kaisar Hirohito bukannya bertanya tentang berapa tantara yang tersisa, beliau justru menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Dikumpulkanlah sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kota. Jumlah guru yang tersisa pada saat itu kurang lebih 45.000 guru saja. Kaisar Hirohito dengan penuh harapan mengatakan kepada seluruh pasukan dan juga rakyat Jepang bahwa kepada gurulah sekarang mereka akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan. Hal ini menunjukkan betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar. Momen ini pulalah yang menjadi tonggak kebangkitan Jepang sehingga menjadi salah satu negara maju hanya dalam kurun waktu 20 tahunan. Padahal dengan kondisinya yang hancur lebur saat itu, dunia memprediksi paling tidak Jepang membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun untuk dapat bangkit kembali.

Dari nukilan sejarah tersebut, apa bisa diharapkan dari seorang guru dalam merespon perkembangan zaman seperti sekarang ini. Masihkah kita bisa menggantungkan masa depan bangsa ini terhadap para guru? Atau sudah bergeserkah paradigma tersebut?

Era digital seperti sekarang ini memang menimbulkan berbagai perubahan yang luar biasa. Sumber belajar, mulai dari buku yang bertransformasi dalam e-book , video pembelajaran/tutorial atau apapun yang berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan banyak bertebaran di ruang maya, berbagai metode pembelajaran banyak diajarkan di ruang-ruang pelatihan, seminar dan cukup mudah direplikasi, petanyaan selanjutnya dimana letak peran seorang guru dalam hal ini pendidik agar mampu menjawab apa yang diharapkan kaisar Hirohito tersebut?

Berita Terkait :  Berantas Praktik Impor Ilegal Demi UMKM

Sering kita dengar mahfuzhat, “ath thariqah ahamu minal madah, wal ustaadzu ahammu min ath-thariqah, wa ruuhul ustadz ahammu min al ustadz. (metode pelajaran lebih penting dari pelajaran, guru lebih penting dari metode, dan ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri)”. Sering kita mendengar keluh kesah para pendidik. Mereka sudah berusaha melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan management class yang baik, guru yang memiliki penguasaan keilmuan yang bagus serta mampu menyampaikan keilmuan dengan metode yang sesuai dengan kondisi peserta didik, pendidik yang disiplin, mereka cukup dekat dan perhatian dalam arti positif dengan peserta didik. Akan tetapi profil peserta didik yang diharapkan belum juga tampak dalam keseharian. Bisa jadi ada yang kurang dari seorang pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran selama ini adalah “ruh guru” sesuai dengan mahfuzhat tersebut.

Dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan bahwa “ruh guru” yang dimaksud adalah sipritualitas seorang pendidik. Secara etimologis, spiritualitas dimaknai sebagai nafas dan juga bermakna kejiwaan, hati yang berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan dan Keilmuan. Dalam konteks seorang pendidik sisi spiritualitas tercermin dalam sikap yang berarti benar dan jujur, menjadi seorang pemelajar sepanjang hayat dan memiliki “pembawaan” yang positif (dimanapun ia berada selalu memberikan nilai-nilai positif terhadap lingkungan). Berat memang menjadi pribadi yang ideal, akan tetapi itulah role model seorang pendidik.

Berita Terkait :  Tingkatkan Kesadaran Anak Muda Soal Bahaya Merokok

Spiritualitualitas sendiri bukan sebuah hasil, akan tetapi ia adalah proses yang yang tiada henti dan harus dilatih. Disatu sisi seorang pendidik harus memposisikan diri sebagai seorang peserta didik atau murid. Pendidik adalah murid, pendidik yang tidak murid bukan pendidik yang baik. Artinya, guru yang tidak murid berarti sudah tidak mau belajar lagi.

Sebenarnya konsep spiritualitas tidak bisa dijelaskan secara eksplisit, akan tetapi ia hanya bisa dirasakan. Hal yang harus dilakukan pertama kali untuk meningkatkan aspek spiritualitas seroang pendidik adalah refleksi, yaitu melakukan refleksikan diri tentang hal-hal yang sudah kita dikerjakan. Secara sederhana sebelum melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik ia harus “bersih” dahulu.

Jika diibaratkan seorang pendidik idealnya adalah idola bagi anak didiknya. Apa yang dilakukan dan diucapkan akan direplikasi oleh anak didiknya. Sehingga kebermanfaatannya akan diawali oleh bagaimana pendidik tersebut berucap dan berperilaku. Jika diibaratkan seorang idola adalah mata air yang akan mempengaruhi kehidupan bagi pengguna air yang dihasilkan. Suatu air tersebut bersih maka maka akan terus mengaliri kehidupan dan akan memberikan manfaat bagi orang lain bsegitu juga sebaliknya. Agar mata air selalu bersih dan jernih, maka seorang pendidik harus bersih dulu jiwanya.

Aspek spiritualitas yang harus diutamakan seorang pendidik adalah kesadaran bahwa guru adalah role model yang memiliki daya tarik tersendiri anak didiknya. Sehingga sosok sentral dalam pembelajaran bukan lagi Google dengan segala pengetahuannya, bukan AI yang sangat tergantung siapa programmer dan berbagai aspek pelengkap dalam proses pembelajaran. Sosok pendidiklah yang menjadi tumpuan dalam setiap pembelajaran. Lebih lanjut, kita tentu ingat Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Salah satu makna yang terkandung dari ungkapan ini adalah seorang pendidik merupakan “ibu” dari proses pembelajaran yang berlangsung. Ia harus menunjukkan bagaimana kasih sayang, keikhlasan, welas asih yang diberikan kepada anak didiknya sebagai suatu do’a dan harapan akan kehidupan yang lebik baik. Konsep kepengasuhan menjadi modal dalam setiap proses pendidikan bukan sekedar pengajaran dalam konteks trasfer ilmu. Pendidik harus menjadi seorang pengasuh yang membekali anak didiknya pola-pola kepengasuhan profetik.

Berita Terkait :  PON Menjaring Prestasi

Menjadi seorang pendidik memang tidak mudah, akan tetapi sebuah anugerah tersendiri menjadi seorang pendidik. Setidaknya ada suatu tuntutan ia harus memperbaiki diri sebelum meminta kepada pseserta didiknya untuk menjadi pribadi yang baik. Modal pertama yang harus diperbaiki adalah aspek-aspek spiritualitas seorang pendidik. Dr. Fahrudin Faiz dalam suatu cerahamnya mengungkapkan “Bereskan dulu urusan Spiritualitasmu sebelum melaksanakan urusan lain”. Semoga kita bisa menjadi pendidik yang memang bisa menjadi idola bagi peserta didik.

———— *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img