26 C
Sidoarjo
Thursday, November 21, 2024
spot_img

Menguji Moderasi Beragama Muhammadiyah Lewat Keputusan IUP


Oleh:
Baiturrahman
Mahasiswa Magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 41 dikatakan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Allah Swt juga berfirman dalam surat Ibrahim ayat 31: “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu”.

Saya sengaja menuangkan dua ayat al-Qur’an di atas untuk membuka tulisan ini. Dua ayat tersebut menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam pengelolaan alam semesta; di satu sisi manusia berhak mengambil manfaat di muka bumi, namun di sisi lain manusia juga harus menjaga alam semesta ini agar tidak terjadi kerusakan, sebab dalam ayat itu secara eksplisit menjelaskan bahwa kerusakan di muka bumi ini sebagiannya karena ulah manusia itu sendiri.

Sejak digulirkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 oleh Presiden Jokowi tentang aturan kebolehan ormas keagamaan mengelola tambang atau Izin Usaha Pertambangan (IUP), banyak kalangan menilai kebijakan tersebut sebagai upaya politik pemerintah dalam menjinakkan ormas keagamaan, terutama NU dan Muhammadiyah, yang selama ini mengkritik sikap dan kebijakan Presiden Jokowi, terutama di akhir masa jabatannya sebagai presiden Indonesia. Selain bermuatan politis, kebijakan tersebut juga berpotensi menambah kerusakan alam akibat pengelolaan tambang yang serakah.

Dalam konteks Muhammadiyah, ormas Islam beraliran modernis ini juga baru-baru ini menerima IUP dengan catatan –sebelumnya NU sudah terlebih dahulu menerima tawaran tersebut. Dalam Rapat Konsolidasi Nasional di Universitas ‘Aisyiyah (Unisa), Yogyakarta, Muhammadiyah secara resmi menerima tawaran itu dengan berbagai catatan pertimbangan yang poin intinya menyebutkan pengelolaan pertambangan termasuk hal duniawi yang urusannya diserahkan kepada manusia, sehingga Muhammadiyah merasa perlu untuk terlibat di dalamnya dengan tetap secara seksama menjaga lingkungan hidup (Instagram Lensamu: 2024).

Berita Terkait :  Tak Ada Susu Sapi, Susu Ikan pun Jadi

Sebelumnya, banyak kalangan yang sudah menggelar berbagai diskusi, kajian, hingga aksi terkait tawaran pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan. Salah satu diskusi yang cukup serius merespon isu ini adalah Ma’arif Institute dalam acara Ma’arif House dengan tema “Agama, Krisis Lingkungan dan HAM: Izin Tambang untuk Ormas, Masalah atau Maslahah?”. Diskusi tersebut mengundang berbagai kalangan: agamawan, intelektual, akademisi, pegiat lingkungan, hingga aktivis HAM. Salah satu yang hadir dalam diskusi tersebut mewakili PP Muhammadiyah adalah Fajar Riza Ul Haq.

Salah satu poin penting yang disampaikan Fajar bahwa Muhammadiyah memiliki perhatian cukup terhadap kesejahteraan umat. Perhatian itu diwujudkan persyarikatan dengan mendirikan berbagai amal usaha yang berorientasi pada profit di satu sisi, tetapi juga memilki dampak pada kesejahteraan sosial secara umum di sisi lain atau berorientasi pada kehidupan duniawi dan juga akhirat.

Dalam kaitannya dengan dunia pertambanga, dari 170 lebih universitas, kata Fajar, setidaknya Muhammadiyah memiliki 5 prodi pertambangan. Dengan kata lain, isu pertambangan bukanlah isu baru bagi Muhammadiyah (Youtube Ma’arif Institute: 2024).

Kita perlu menyadari, memang ada dampak positif dan negatif dari praktik pertambangan di Indonesia selama ini. Dampak positif itu misalnya tambang sebagai sumber pembangkit listrik, industri baja, pupuk pertanian, dan lain sebagainya. Namun, dampak postif itu harus dibayar mahal dengan berbagai kerugian yang dialami masyarakat sekitar. Menurut riset yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), setidaknya dari tahun 2009-2022 ada 50 orang korban meninggal dunia dan belasan lainnya luka-luka akibat praktik penambangan oleh sejumlah perusahaan di antaranya PT Dasrat, PT NAL, PT BMK, CV Tahiti Coal. Analisis WALHI menunjukkan korban-korban tersebut berbanding lurus dengan buruknya tata kelola tambang yang cenderung eksploitatif (walhi.or.id: 2022).

Berita Terkait :  Mengendalikan Syahwat Berkuasa

Ujian Moderasi
Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah mengamini sikap wasathiyyah atau moderasi dalam beragama. Sikap wasathiyyah itu dituangkan dalam gagasan Islam Berkemajuan. Dalam kaitannya dengan isu lingkungan hidup misalnya, Muhammadiyah punya komitmen untuk menjaga dan melestarikan alam.

Dalam Risalah Islam Berkemajuan hasil Muktamar tahun 2022 secara gamblang disebutkan: Muhammadiyah berupaya secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim. Pada aspek praktis, warga Muhammadiyah di berbagai lapisan telah dan akan tetap terlibat aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, baik secara individu melalui gaya hidup yang pro-ekologis, maupun secara kolektif dengan, misalnya, implementasi sekolah dan kampus hijau, sedekah sampah, sekolah kader lingkungan (daratan, sungai, dan laut), pembangunan kawasan penyejuk bumi, gerakan audit lingkungan mandiri, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (Risalah Islam Berkemajuan: 2022).

Keputusan menerima IUP agaknya menjadi ujian bagi moderasi beragama Muhammadiyah; mengelola tambang untuk tujuan sosial, tetapi pada saat yang bersamaan juga harus tetap menjaga lingkungan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Ada dua kemungkinan memang tawaran IUP disodorkan kepada ormas besar seperti Muhammadiyah; pertama, boleh jadi tawaran itu bersifat politis, seperti keterangan di atas; kedua, IUP sebagai tantangan bagi Muhammadiyah, karena selama ini Muhammadiyah dianggap sukses mengelola berbagai jaringan bisnis amal usaha. Seperti pernah dikatakan Mahfud MD, apabila korupsi pada sektor pertambangan itu bisa dihapus, maka banyak rakyat di Indonesia mendapat 20 juta setiap bulan. Maka, tentu saja jika Muhammadiyah mengelola bisnis pertambangan dengan baik, akan ada maslahat di sana.

Berita Terkait :  Maksimalkan Akses Disabilitas pada Pilkada Serentak 2024

Problemnya adalah selama ini belum ada konsep yang secara serius mengkaji hubungan antara Islam dan lingkungan hidup secara filosofis: baik pada aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. Seperti disampaikan Budhy Munawar Rachman dalam Ma’arif House, kajian Islam dan ekologi masih kurang mendapat perhatian, dibanding misalnya, dengan agama Budha atupun Hindu.

Selama ini gagasan-gagasan Islam itu, khususnya di Indonesia, lebih banyak berkutat mengkaji relasi antara Tuhan dan manusia atau sesama manusia, jarang yang berkaitan erat dengan lingkungan hidup. Meskipun banyak ayat al-Qur’an tentang alam semesta, tetapi kajian-kajian tersebut lebih banyak bersifat ayatisasi atau islamisasi saja.

Terakhir, tentu kita perlu mengapresiasi keputusan Muhammadiyah menerima IUP dengan tidak tergesa-gesa; melalui mekanisme musyawarah yang cukup panjang di tengah gempuran pro dan kontra yang ada.

Keputusan Muhammadiyah menerima hal itu tentu tidak mudah, karena itu jika nanti dalam praktiknya membawa banyak manfaat, tentu akan dilanjutkan, sebaliknya jika hal itu memberi mafsadat, Muhammadiyah harus segera bertindak tegas, sebagaimana tertuang dalam keputusan tersebut, poin keenam, apabila pengelolaan tambang lebih banyak menimbulkan mafsadat, maka Muhammadiyah secara bertanggungjawab akan mengembalikan izin usaha pertambangan kepada pemerintah.

———— *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img