28 C
Sidoarjo
Thursday, September 19, 2024
spot_img

Potensi Fraud pada Fasilitas Layanan Kesehatan


Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Baru-baru ini Komisi Pemberantas Korupsi mengungkapkan dalam temuannya terdapat dugaan fraud (tindakan penyimpangan) yang menyangkut tagihan klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan indikasi kerugian negara diperkirakan mencapai miliaran rupiah. KPK bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta BPJS Kesehatan membentuk Tim Bersama untuk Penanganan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Tim melakukan pengecekan terhadap enam rumah sakit di tiga provinsi dan hasilnya terdapat tiga rumah sakit yang berlokasi di Jawa Tengah dan Sumatera Utara terindikasi melakukan fraud. Dugaan fraud tersebut dilakukan pada layanan Fisioterapi dan Operasi Katarak untuk periode Juli 2017 – Juni 2018 dengan ditemukannya modus phantom billing atau klaim fiktif dan manipulation diagnosis.

Pada layanan fisioterapi pada tiga rumah sakit dengan jumlah tagihan klaim sebanyak 4.341 kasus, tetapi hanya terdapat 1.072 atau 24,7 persen kasus yang memiliki catatan rekam medis, sehingga 3.269 atau 75,3 persen kasus diduga fiktif dengan nilai Rp 501,27 juta. Sisi manipulation diagnosis atas operasi katarak pada tiga rumah sakit dengan sampel sebanyak 39 pasien, tetapi yang sesuai diagnosa hanya sebanyak 14 atau 36 persen pasien, sehingga terdapat 25 atau 64 persen pasien yang diagnosa kasusnya untuk dapat dilakukan operasi tidak sesuai standar.

Berita Terkait :  Generasi Lemas Indonesia Cemas

Sektor Wajib dan Mendasar
Salah satu prioritas pembangunan adalah sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk dalam penganggaran menjadi urusan wajib pemerintah daerah yang bersifat mandatory spending (jenis belanja yang besarannya sudah ditentukan perundang-undangan). Meski saat ini mandatory spending sektor kesehatan sudah dihapus, namun demikian komitmen pemerintah daerah harus tetap memprioritaskan bidang kesehatan yang notabene lekat dengan urusan keselamatan dan nyawa seseorang.

Oleh karena itu sangat wajar bila postur anggaran di dua sektor tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan sektor atau bidang lain. Dalam konteks pencegahan dan mitigasi risiko menjadi salah satu fokus pengawasan di berbagai level dalam rangka untuk memastikan bahwa anggaran sudah tepat sasaran (efektif), efisien dan ekonomis serta memberikan dampak dan kemanfaatan kepada masyarakat luas.

Harus diakui di sektor layanan perumahsakitan, aspek tindakan medis an sich sangat mewarnai wajah sistem kesehatan secara umum. Apalagi secara substansi bahawa karakteristik layanan kesehatan memiliki beberapa sifat yang melekat (inheren) antara lain : uncertainty, asymetri of information dan externality. Pertama uncertainly atau ketidakpastian dalam pelayanan kesehatan ditujukan untuk menolong seseorang ketika menghadapi suatu resiko sakit dengan menelan biaya, tetapi tidak ada jaminan akan kesembuhan. Begitu juga untuk memenuhi pelayanan kesehatan di masa akan datang, tidak bisa ditentukan waktu, tempat,dan besaran biaya yang dibutuhkan.

Pendekatan hanyalah bersifat proyeksi atau forecasting. Unsur ketidakpastian amat lekat dengan sistem kesehatan terutama untuk memperkirakan jumlah orang yang mungkin akan datang ke unit gawat darurat, menentukan inovasi teknologi medis mana yang akan diterapkan, hingga mengantisipasi konsekuensi tren kesehatan terkini. Kondisi diatas tentu sangat mempengaruhi warna dan konfigurasi layanan kesehatan.

Berita Terkait :  Wacana Anggaran Pendidikan Berbasis Pendapatan Negara

Kedua, asymetri of information merupakan unsur ketidaksetaraan antara penerima pelayanan berlawanan dengan dokter dan serta penyelenggara pelayanan. Adanya keterlambatan BPJS Kesehatan dalam melakukan pembayaran layanan kesehatan masyarakat ke fasilitas kesehatan dapat dilihat dari sudut pandang asimetri informasi.

Pada satu sisi, banyaknya manfaat yang ditawarkan BPJS Kesehatan akan menimbulkan moral hazard berupa mudahnya fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan kesehatan yang tidak perlu. Hal ini dikarenakan fasilitas kesehatan dapat menagih hal ini kepada BPJS Kesehatan. Kondisi tersebut seringkali terjadi pada fasilitas kesehatan yang memiliki pelayanan kurang baik di mana sebelum adanya BPJS Kesehatan mereka kekurangan pasien.

Pada tahap yang lebih lanjut, BPJS Kesehatan akan melakukan perbaikan skala besar sehingga dapat saja dilakukan adanya penyesuaian nilai penggantian nilai layanan kesehatan yang notabene akan menambah besaran biaya RS yang akan diklaimkan ke BPJS.

Ketiga, ecternality factor, dimana ketersediaan pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi siapa saja, karena kebutuhan pelayanan kesehatan merupakan pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan setiap individu. Pelayanan yang tergolong pencegahan umumnya mempunyai eksternalitas yang besar sehingga digolongkan sebagai komoditi masyarakat atau public good dan untuk itu seyogyanya mendapatkan subsidi atau bahkan disediakan oleh pemerintah secara gratis, sedangkan untuk pelayanan kuratif, eksternalitasnya umumnya kecil dan sering disebut sebagai private goods dan hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak swasta.

Berita Terkait :  Makna Sehat Bagi Calon Pemimpin Daerah

Di sisi lain, eksternalitas dapat beririsan dengan sisi-sisi ekonomi dan kondisi social kemasyarakat, misalnya kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai salah satu faktor risiko terbesar untuk tertular penyakit menular endemik. Morbiditas kronis dan komorbiditas yang dihasilkan bertindak untuk mengurangi modal manusia dan menghambat upaya untuk keluar dari penyakit kemiskinan, dan menghasilkan perangkap kemiskinan yang berkelanjutan sehingga dapat dilemahkan dengan tindakan yang meningkatkan status kesehatan masyarakat secara luas.

———– *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img