Hasil WTP yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu memanglah kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah sebagai pengguna APBN. Ia menjadi kemestian untuk pemerintahan dengan tata kelola modern. Lantaran itu, benar kiranya kalau Presiden Jokowi menyatakan bahwa opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang didapatkan oleh Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2023 bukanlah prestasi
Presiden menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKKP 2023 awal pekan ini. Hasil WTP tersebut sebenarnya juga sudah terpublikasi sejak awal Juni, yakni dengan diserahkannya LHP LKPP 2023 itu beserta Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023 kepada DPR RI.
Semenjak itu pun publik sudah mengetahui bahwa tidak seluruh laporan keuangan kementerian dan lembaga (LKKL) mendapat WTP. Dari 84 LKKL, ada empat yang mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP), yaitu Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kominfo, dan Bapanas. Namun, hasil keempatnya dianggap tidak memengaruhi keseluruhan LHP LKKP tersebut.
Opini WTP adalah hasil yang menyatakan bahwa laporan keuangan yang diperiksa disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, informasi keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Adapun sesuai kepanjangannya, WDP menunjukkan adanya penyampaian materi dan informasi keuangan yang dikecualikan dari yang dianggap wajar.
Selain itu, terdapat dua lagi bentuk opini BPK. Yaitu, opini tidak wajar (TW) yang diberikan terhadap laporan keuangan yang tidak menyajikan informasi keuangan entitas sesuai standar, serta opini tidak memberikan pendapat (TMP), yang dikeluarkan ketika auditor tidak puas akan seluruh laporan keuangan yang disajikan.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menetapkan target 92% LKKL mendapat WTP. Dengan begitu, LKPP 2023 memang masih memenuhi target. Namun, tetap saja, dalam logika sederhana, LKPP dengan hasil WTP itu ibarat anak sekolah yang mengerjakan tugas sesuai aturan. Meski merupakan nilai tertinggi, tetaplah itu merupakan standar. Lebih jauh lagi, hasil WTP tetaplah merupakan penilaian administrasi, bukan faktual di lapangan.
Sebab itu pula tidak ada jaminan hasil WTP pada laporan keuangan berarti bebas dari perilaku korupsi. WTP hanyalah mempersempit celah korupsi dengan adanya sistem yang ditetapkan untuk berbagai pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan pemerintah. Selama moral korup bercokol, segala capaian itu tetap tak ada artinya. Mulai dari hal sederhana seperti pencatatan dan penatausahaan bukti-bukti transaksi sampai prosedur, semua bisa diakali. Maka, jangan heran jika ada kementerian dan pemda yang mendapat WTP, tapi pimpinan dan beberapa pejabatnya terjerat korupsi.
Lantaran sejumlah kasus korupsi di kementerian/lembaga berpredikat WTP itu pula kebenaran hasil audit BPK sangat dipertanyakan. Bahkan, kecurigaan adanya ‘jual beli’ WTP sudah semakin santer sejak 2022 hingga dipertanyakan pula oleh DPR di rapat komisi dengan BPK. Di rapat itu pula, meski dinyatakan pemberian WTP sesuai prosedur, BPK mengakui bisa saja lembaga yang mendapat hasil tertinggi itu tersangkut suap atau korupsi lainnya. Namun, selama kasus tersebut tidak menggunakan APBN, noda busuk itu tetap tidak memengaruhi pemberian WTP.
Dengan semua kenyataan tersebut, sepatutnya pemerintah menghentikan glorifikasi terhadap WTP. Semua kementerian/lembaga, begitu pula dengan pemda, justru harus memahami WTP sebagai kewajiban minimal. Di luar itu, pemerintah pusat maupun daerah masih harus membuktikan integritas mereka melalui kinerja yang bersih dan transparan. Mereka harus menyadari bahwa predikat WTP yang tidak berbanding lurus dengan capaian program di lapangan justru menjadi kecurigaan.
———- *** ————