Oleh :
Aqil Husein Almanuri
Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAINAS Sumenep.
Merebaknya selebritis di panggung kontestasi politik sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sejak pemain sinetron hingga pelawak sudah lama mewarnai panggung perpolitikan di Indonesia. Kita tahu nama-nama seperti: Eko Patrio, Pasha, Angel Lelga, Komeng, Krisdayanti, hingga Anang Hermansyah mampu merebut suara masyarakat. Ini hanya segelintir saja, banyak yang masih belum saya sebutkan.
Mereka tèrsebar di beberapa jabatan: ada yang jadi wakil walikota dan mayoritas berada di DPR.
Nama Marcell Widianto, salah satu komika saat ini santer diberitakan. Marcell resmi dicalonkan sebagai Wakil Bupati Tanggerang Selatan (Tangsel) dari fraksi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Hal itu pun turut dibenarkan oleh Airin Diany, mantan Wali Kota Tangsel. Bahkan menurut Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Gerindra, Claudia menyatakan bahwa Marcel telah resmi bergabung menjadi kader partai. Hal itu resmi berlaku usai Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerindra, Sufmi Dasco mengumumkan majunya Marcel (Kompas.com).
Pencalonan resmi Marcel ini mengundang reaksi problematik dari masyarakat. Banyak netizen tidak percaya dengan keputusan tersebut dan beberapa menganggap aneh. Tak hanya netizen, rekan sesama komika, Pandji Pragiwakdono dalam kesempatan podcastnya bersama Deddy Corbuzier secara jelas menyatakan gak pantes.
Alasan Pandji dan netizen memiliki corak dan nada yang hampir sama. Dalam kasus ini, menurut mereka, kompetensi yang menjadi syarat minimum seolah diacuhkan.
Imbas Politik Patronase
Namun bagi saya, kurang benar jika kita melayangkan bully secara personal kepada Marcell Widianto. Meskipun kedengarannya cukup menggelitik, namun diterima atau tidak, politik kita memang begitu.
Ini bukan bermaksud menafikan kemampuan Marcel. Sebab setiap orang berhak untuk memilih atau mencalonkan diri dalam sebuah kontestasi, selama memenuhi persyaratan konstitusi (UUD 1945 Pasal 43 ayat 1). Namun, benar kata netizen dan Panji, kemampuan atau kompetensi juga hendaknya menjadi rujukan.
Tapi yang paling penting dalam tulisan ini adalah apa yang menjadikan partai politik mengeuforiakan sosok selebritis dalam pencalonan? Meski seringkali selebritis yang bersangkutan tidak punya kompetensi yang jelas atas itu sama sekali?
Kecenderungan partai politik untuk mencalonkan selebritis dalam kontestasi bukan tanpa alasan. Ada design atau sistem yang membuat mereka lebih condong memilih selebritis yang dikenal banyak orang (meski kosong) ketimbang memilih mereka yang memiliki kemampuan memimpin yang baik, namun kurang terkenal. Saya kira pembaca sudah bisa paham maksud dan tujuan saya dengan adanya perbandingan tersebut.
Ini bermula dari adanya sebuah lingkaran hitam dalam politik kita; politik Petronase, Klientalisme, dan Money Politic. Ketiganya inilah yang secara berkelanjutan masih menjadikan kumuh wajah demokrasi kita. Ketiganya saling berkesinambungan.
Agar tidak terlalu sukar didengar, politik patronase dan klientalisme itu bisa disebut sebagai politik timbal balik. Ini biasanya–dalam konteksnya saat ini–terjadi antara pebisnis, pemerintah, dan masyarakat bawah.
Di setiap kontestasi, narasi ‘ada uang ada suara’ masih menjadi kultur cacat yang eksis. Pada masyarakat kelas bawah, tukar menukar suara dengan uang (atau barang lain) bukan lagi menjadi rahasia. Jika mengambil sudut pandang kelas bawah, ini dianggap hal yang realistis. Bayangkan, mereka dibayar 50-100 ribu per-kepala. Mereka yang biasanya luntang-lantung untuk mendapatkan uang sebesar itu, bisa mendapatkannya secara cuma-cuma (sebagaimana cara berpikir masyarakat kita kebanyakan)
Nah, di sinilah awal mula tawar menawar demokrasi terjadi. Suara rakyat–dalam kasus ini–menjadi barang lelang yang menggiurkan dan diperebutkan para calon. Mereka yang memberi penawaran dengan harga tertinggi selalu menjadi pemenangnya. Sederhananya, mereka yang memiliki dana kampanye paling besar dan uang akan lebih mudah membeli suara masyarakat, lalu memenangkan kontestasi.
Meminjam istilahnya mas Eko Cahyono, Peneliti Sajogyo Institute, inilah yang disebut sebagai lingkaran setan. Lingkaran setan inilah yang kemudian membuat pemilu atau pilkada kita menjadi mahal. Bayangkan, untuk menjadi Bupati saja (kata Mas Eko) di salah satu Kabupaten, membutuhkan dana sepersekian Miliar.
Dana sebesar itu tentu sangat tinggi dan mahal bagi politisi yang bukan dari golongan pengusaha. Maka untuk itu, mereka mencari dana besar tersebut kepada pengusaha dan pemilik perusahaan-perusahaan raksasa.
Lalu bagaimana mereka bisa diuntungkan? Si politisi akan mendapatkan dana kampanye untuk membeli suara masyarakat, ketika dia sudah memenangkan pemilihan, dia akan menggunakan kuasanya (Abuse of Power) untuk menguntungkan si pengusaha, misal membuat regulasi lahan yang awalnya ilegal menjadi legal, kemudahan izin membuka tambang, dan lainnya.
Pada masa orde baru, design politik semacam ini juga eksis, namun hanya di lingkaran dan tersentralisasi di kalangan elit saja, tidak sampai merembes ke masyarakat bawah. Sekarang, politik timbal balik itu merangsek masyarakat kecil, mereka seolah-olah diuntungkan dengan uang puluhan dan ratusan ribu, tanpa sadar padahal sebenarnya sedang menjadi mangsa yang lezat.
Kira-kira begini; pengusaha yang memodali politisi akan mendapatkan kemudahan akses untuk semakin melebarkan perusahaannya (meski dengan cara yang buas), politisi mendapatkan kursi sebagaimana target awal, masyarakat hanya mendapatkan uang 50.000, namun sebagian hidupnya digadaikan pada kekuasaan yang licik. Maka dari itu, Edward Aspinal, Peneliti Australia menilai bahwa sirkulasi semacam ini biasanya ada di negara yang memiliki kesenjangan ekonomi yang tinggi, salah satunya Indonesia.
Maka, beberapa partai politik mencari cara agar bisa menyiasati mahalnya demokrasi. Mencari taktik supaya partainya tetap mendapatkan kursi kekuasaan tanpa harus menggelontorkan banyak uang, salah satunya adalah dengan memakai orang-orang yang populer di masyarakat, orang-orang yang memang sudah dikenal luas oleh pemilih.
Sehingga, wajar nama Marcel Widianto keluar sebagai Calon Wali Kota meskipun banyak yang meragukan kompetensinya. Marcel hanya dijadikan sebagai tumbal suara dalam pemilihan agar partai yang mengusungnya tetap menjadi pemenang tanpa harus mengeluarkan banyak dana. Maka dari itu saya gak percaya pernyataan Airin ketika diwawancara awak media Kompas, bahwa allasan Marcel dipilih karena dia adalah pemuda pekerja keras.
———— *** —————-