Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 1.451 kasus kekerasan seksual terjadi di ruang publik sepanjang 2023. Salah satu lokasi adalah lingkungan perguruan tinggi.
Kampus yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman ternyata juga menjadi tempat kasus kekerasan seksual. Fakta tersebut sungguh ironis. Bukan saja terjadi di kampus swasta, kampus negeri pun juga terjadi. Bahkan di dalam kampus yang identik sebagai kampus yang membawa nama agama. Belum lama berselang, kasus kekerasan seksual terjadi di sebuah universitas swasta di Surakarta. Dua mahasiswa menjadi korban kekerasan seksual. Pelakunya dua orang dosen. Dua dosen predator seksual itu bekerja di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Salah satu dari pelaku adalah wakil dekan.
Para dosen yang seharusnya membimbing dan melindungi mahasiswa justru menjadi penjahat seksual. Hukuman tegas sepatutnya diberikan kepada para pelaku.
Rekot kampus yang bersangkutan memberikan sanksi untuk kasus pertama berupa diberhentikan sebagai dosen. Sedangkan pada kasus kedua, dosen yang menjabat wakil dekan diberhentikan dari jabatan struktural, dosen, dan dialihkan menjadi tenaga administrasi selama dua tahun.
Keputusan Rektor tersebut layak diapresiasi sebagai kemajuan dan langkah tegas mengatasi tiga dosa besar di dunia pendidikan. Tiga dosa besar di dunia pendidikan Indonesia adalah perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual.
Apresiasi juga layak diberikan kepada Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Komisi Penegak Disiplin UMS yang menjalankan investigasi secara mendalam dan menghasilkan putusan menghukum secara tegas dua dosen predator seksual itu.
Memberhentikan kedua pelaku tersebut dari jabatan ternyata belum cukup. Kedua pelaku harus dipidanakan lewat proses hukum. Langkah ini penting untuk menjaga nama baik institusi kampus.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak boleh ditutup-tutupi, harus dibuka secara transparan. Tentu harus tetap melindungi korban. Penanganan kasus secara tuntas merupakan jalan terbaik menjaga nama baik kampus, bukan malah menutup-nutupi.
Hukuman internal yang telah dilakukan berupa pemecatan dari status dosen yang diumumkan secara terbuka menjadi langkah terbaik dan harus diapresiasi. Keputusan ini seharusnya ditindaklanjuti dengan memasukkan dosen-dosen predator seksual itu dalam daftar hitam sehingga tertutup peluang mengajar lagi atau mengajar di kampus lain.
Langkah tegas demikian ini, walau tak diikuti proses pidana, justru meningkatkan apresiasi dan kepercayaan publik kepada kampus. Pemahaman yang sama di seluruh elemen masyarakat kampus tentu sangat penting untuk mendukung korban dan mengungkap berbagai bentuk kekerasan seksual di kampus.
Membangun ruang aman bagi semua merupakan kewajiban seluruh elemen kampus. Menutup-nutupi kasus kekerasan seksual di kampus dan bahkan cenderung melindungi pelakunya hanya akan berujung kampus mengkhianati hakikat tugas dan kewajiban membangun peradaban bangsa.
———– 000 ————–