25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

200 Orang Napi Narkoba Penuhi Rutan Nganjuk

Nganjuk, Bhirawa.
Salah satu warisan kolonial Hindia Belanda keberadaan rumah penjara atau Rumah Tahanan (Rutan) Nganjuk sama seperti tata kota zaman kolonial. Menghadap Alun-alun Nganjuk, berdampingan dengan Masjid Agung, Pendopo Kabupaten, Kantor Pos, Pegadaian, sekolah, kantor polisi dan permukiman, Seiring waktu perkembangan pesat tata Kota Nganjuk menjadi kota kecil yang terus bertumbuh di tengah pembangunan.

Kompleksitas kota dengan segala permasalahannya termasuk kriminal yang harus berhadapan dengan hukum dan berakhir di balik jeruji besi rutan. Arsitektur dan luasan rutan Kelas II Nganjuk sendiri tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di rahun 2017 kemarin rutan kelas IIB Nganjuk ini sebanyak 227 orang warga binaan Rutan tersebut.

Mewakili Plt Kepala Rutan, Hary Sutardi, Teguh, Staff Keamanan Rutan Kelas IIB mengatakan, untuk Rutan kelas IIB ini daya tampung warga binaan ini normalnya adalah 170 orang, dengan tujuh petugas laki laki dan satu perempuan. Kelebihan beban kapasitas penampungan tahanan dan narapidana hampir terjadi baik ada di Lapas, Rutan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) di seluruh Tanah Air.

”Tahun 2025 ini terjadi lonjakan sebanyak 400 orang warga binaan, tiga diantaranya perempuan. Paling banyak kasus Narkoba yakni 200 orang, yang menjadi penghuni rutan ini,” terang Teguh.

Berita Terkait :  Musda DPD Partai Golkar Kota Malang, Suryadi Banyak Didukung Kader Muda

Jika dicermati, menurut praktisi hukum Pujiono SH MH, yang membuat penjara penuh yaitu angka kejahatan yang meningkat dan kurang maksimalnya penggunaan jenis pemidanaan lain selain penjara. Di dalam Pasal 10 KUHP misalnya, sebenarnya dijelaskan, ada lima jenis pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda, dan tutupan.

Kenyataannya putusan pidana penjara lebih sering dijatuhkan, sehingga menyebabkan pidana pokok lain sering terlupakan. Bahkan sering tidak disadari juga, lembaga pemasyarakatan itu pada dasarnya adalah pembinaan, bukan justru jadi tempat penjara.

”Coba dipikirkan pemasyarakatan itu intinya pembinaan, lebih baik maling-maling kampung kelas teri tidak usah dipenjara, serahkan pada aparat wilayah untuk membinanya. Jadi yang dipenjara itu yang kakap kakap saja,” jelas Pujiono, Rabu (23/4).

Pujiono menjelaskan, misalnya, orang terlibat dalam kasus narkotika sebagai pecandu ataupun penyalahgunaan narkotika yang seharusnya direhabilitasi namun justru dijebloskan ke penjara. Kemudian, banyak kasus-kasus yang gagal diselesaikan di luar pengadilan sehingga tetap masuk ke rutan.

”Untuk mengurangi overload tahanan, aparat penegak hukum dapat menerapkan alternatif penahanan seperti tahanan rumah atau pembebasan bersyarat untuk pelaku kejahatan ringan. Mempercepat proses hukum dengan sidang jarak jauh dan meningkatkan program rehabilitasi juga dapat mengurangi jumlah tahanan. Selain itu, memanfaatkan lembaga non-penjara untuk pelaku kejahatan ringan atau yang dapat dibina secara sosial akan membantu meringankan beban penjara dan menciptakan sistem peradilan yang lebih efisien serta manusiawi salah satunya menggunakan Restorative Justice,” tandas Pujiono.

Berita Terkait :  Pasangan Rini-Ghoni Bawa Contekan, KPU Kabupaten Blitar Hentikan Debat Pilbup

Dalam pelaksanaan Restorative Justice, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum. [dro.fen]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru