Oleh :
Akhmad Faishal
Pengelola perpustakaan di SMAN 15 Surabaya
Sebagaimana sebuah penyakit, keengganan orang membaca buku juga termasuk penyakit. Dan, tentu saja penyebab orang enggan membaca buku disebabkan oleh virus bernama mal-literasi.
Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan oleh pernyataan ketua DPR, Puan Maharani, tentang anak-anak di kabupaten Buleleng. Ia mengatakan bahwa anak-anak disana memiliki literasi yang rendah, tetapi mampu mengoperasikan media sosial (tiktok). Selain itu, juga beredar video tentang anak-anak yang ditanya oleh seorang guru tentang soal-soal perkalian. Namun, jawaban atas soal-soal perkalian sederhana saja, mereka tidak mampu untuk menjawab. Apa yang menjadi masalah atas hal ini? Bagaimana mungkin, soal-soal perkalian sesederhana itu mereka tidak mampu menjawabnya? Apakah guru yang ada disekolah tersebut, mungkin juga sewaktu SD dan SMP dulu, tidak mengajari mereka perkalian dengan baik? Kalau begitu, apa gunanya sekolah?
Pertanyaan terakhir itu memang sungguh sangat menyakitkan. Pemerataan yang digaungkan bahkan yang bukan non-ekonomi atau non-pembangunan saja tidak merata, apalagi yang memang benar-benar pembangunan dan ekonomi? Lebih jauh lagi, lantas apa gunanya buku-buku yang ada di perpustakaan, kalau tidak dimanfaatkan dengan baik?
Virus ini telah merebak merajalela melintas ruang dan waktu. Semenjak Indonesia merdeka pada tahun 1945 hingga 2022, pendidikan kita telah menerapkan 11 kurikulum demi mampu bersaing dengan pendidikan anak-anak di luar negeri.
Sayangnya, sebanyak 11 kurikulum yang telah diterapkan itu ternyata belum mampu untuk bersaing dengan-dan bahkan-oleh Thailand atau Vietnam sekalipun. Apalagi, bersaing dengan Singapura, Korea selatan atau Jepang. Fakta itu muncul setelah keikutsertaan Indonesia di program PISA sejak tahun 2000. Dan terus melorot hingga jumlah negara yang ikut serta sebanyak 81 negara. Kemunduran ini tentu saja dipengaruhi oleh virus mal-literasi yang muncul diduga disebabkan oleh peredaran gawai.
Berdasarkan databoks.katadata.co.id dari laman rri.co.id, pada tahun 2024 penetrasi internet masyarakat Indonesia sebesar 242 juta pengguna (93,4 persen). Jumlah yang hampir seratus persen itu memperlihatkan bagaimana internet tidak dapat dilepaskan dari kehidupan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Dibandingkan dengan membaca informasi dari buku, mereka lebih memilih mencari informasi dari internet. Kalau begitu, keheranan ketua DPR, Puan Maharani itu menjadi hal yang aneh. Mengapa? Karena, kebiasaan yang dibangun sejak awal memang cenderung mengoperasikan gawai untuk berinternet.
Berbeda, kalau kebiasaan yang dibangun sejak awal yakni membaca buku. Akan mengherankan, kalau dengan kebiasaan semacam itu, mereka masih kesulitan membaca dan kesulitan memahami isi bacaan. Dan, membaca merupakan fondasi dari literasi. Sebab, literasi bukanlah sekadar merupakan kegiatan membaca saja. Artinya, mereka mampu mengoperasikan gawai untuk bermedia sosial dan kesulitan membaca atau memahami bacaan memang merupakan gejala terindikasi virus mal-literasi.
Ada efek buruk dari virus ini yang bahkan mampu menjerumuskan negara ke jurang kegelapan. Lihatlah bagaimana keputusan hakim dalam kasus Tom Lembong dan komposisi hakim MK pada putusan MK no. 90/PUU-XXIII/2023 yang dinilai keliru dalam mengambil keputusan. Pada putusan MK itu, faktanya jumlah hakim yang mendukung secara mutlak ada 3 hakim, 2 hakim mendukung hanya sampai taraf Gubernur, dan 4 hakim yang menolak secara mutlak. Artinya, keputusan 5 banding 4 itu bukanlah keputusan yang memuaskan dan penuh keganjilan sebab para hakim belum mampu mengelola dan memahami kesimpulan dengan baik. Apalagi, pada putusan hakim pada kasus Tom Lembong.
Itulah gambaran tentang bagaimana virus mal-literasi telah merebak ke seluruh lapisan masyarakat. Termasuk, yang terakhir, yakni presiden RI, Prabowo Subianto.
Dalam sebuah kesempatan, ia menyampaikan tentang kesamaan antara PSI dulu dengan PSI yang sekarang. PSI buatan Sutan Sjahrir dengan PSI buatan Grace Nathalie dan Raja Juli Antoni. Padahal, meski memiliki kesamaan singkatan, tetapi karakter kedua partai itu sangatlah berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah bagaimana PSI-nya Sutan Sjahrir berani mengkritik hingga partainya itu dibekukan oleh pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin. Bandingkan, dengan PSI buatan kedua generasi kekinian itu.
Hal itulah yang mengakibatkan pernyataan presiden Prabowo itu dikritik keras oleh Rocky Gerung, pengamat politik. Artinya, literasi presiden dalam hal ini cukup lemah. Dan menyandingkan keduanya, hanya karena kemiripan singkatan, merupakan kekeliruan yang fatal dan besar. Dengan demikian, secara tidak langsung presiden pun terkena virus mal-literasi.
———– *** —————


