29 C
Sidoarjo
Wednesday, January 22, 2025
spot_img

Tantangan Pendidikan dalam Membudayakan “Bermasyarakat”

Oleh:
Dr. Husamah
Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Salah satu dari Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang diluncurkan secara resmi oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada Jumat (27/23/2024) adalah bermasyarakat. Gerakan ini adalah sebuah inisiatif strategis yang menjadi bagian dari Asta Cita ke-4 dalam visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.

Mengutip laman resmi cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id, dijelaskan bahwa “Kebiasaan bermasyarakat adalah perilaku terlibat dalam kegiatan sosial, budaya, atau lingkungan di komunitas tempat tinggal seseorang. Kebiasaan ini bermanfaat untuk menumbuhkembangkan nilai gotong royong, kerja sama, saling menghormati, toleransi, keadilan, dan kesetaraan, serta meningkatkan tanggung jawab terhadap lingkungan, dan rasa sekaligus menciptakan kegembiraan.”

Merefleksi dari kondisi kekinian bangsa ini, rasanya inilah bagian yang cukup sulit, untuk tidak mengatakan paling sulit dicapai.

Tentu kita akan bertanya, mengapa sulit? Artikel ini tidak bermakna berputus asa, atau antipasti, melainkan memberikan wanti-wanti agar pihak terkait lebih bekerja keras dan berjuang ekstra untuk mengimplementasikannya.

Wacana Toleransi
Membangun kehidupan bermasyarakat yang ideal di Indonesia adalah program yang penuh tantangan. Toleransi, keadilan, dan kesetaraan sebagai fondasi penting dalam hidup bermasyarakat seringkali sulit diwujudkan dalam praktik sehari-hari. Meskipun semboyan bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika, mengajarkan pentingnya hidup dalam keberagaman, realitas di lapangan menunjukkan adanya gesekan yang terus terjadi.

Pakar sosiologi Emile Durkheim menekankan bahwa solidaritas sosial adalah pilar kehidupan masyarakat, namun solidaritas ini kerap terhambat oleh sikap egois yang mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Hal ini terlihat dari klaim kebenaran mutlak yang sering dipegang oleh kelompok masyarakat tertentu, baik atas dasar agama, budaya, maupun ideologi. Akibatnya, ketegangan yang berujung pada konflik tidak jarang terjadi, bahkan dalam komunitas yang seharusnya memiliki nilai-nilai yang sama.

Berita Terkait :  Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Dalam konteks toleransi antar dan intraagama, gesekan antar kelompok semakin mencuat karena pemaksaan kehendak dari pihak mayoritas terhadap pihak minoritas. Fenomena ini menjadi tantangan besar karena seringkali nilai-nilai keberagaman yang seharusnya dijunjung tinggi justru dilemahkan oleh tekanan sosial dan politik.

Sebagai contoh, tokoh bangsa seperti Gus Dur dan Buya Syafi’i Maarif telah lama memperingatkan bahwa sikap intoleransi dapat merusak harmoni bangsa. Namun, dalam praktiknya, toleransi menjadi hal yang sulit karena adanya fanatisme sempit yang mendominasi narasi publik. Hal ini diperkuat oleh teori konflik sosial Karl Marx yang menyebutkan bahwa struktur sosial yang tidak seimbang akan melanggengkan dominasi pihak tertentu terhadap yang lain. Di negeri ini, ketidakseimbangan ini sering kali termanifestasi dalam bentuk diskriminasi terhadap kelompok yang lebih kecil atau dianggap berbeda.

Keadilan pun menjadi isu yang tidak kalah krusial. Akses terhadap keadilan seringkali lebih mudah didapatkan oleh kelompok yang memiliki kekuasaan atau sumber daya ekonomi yang kuat, sementara kaum lemah harus berjuang keras untuk memperjuangkan hak-haknya.

John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan sebagai fairness, menekankan pentingnya prinsip kesetaraan akses terhadap hak-hak dasar. Sayangnya, di Indonesia, prinsip ini sering terabaikan. Contoh nyata adalah ketimpangan perlakuan hukum yang tajam antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kecil, yang mencerminkan ketidakadilan struktural. Akumulasi dari intoleransi, diskriminasi, dan ketidakadilan ini menjadi penghambat utama dalam membangun masyarakat yang harmonis, sekaligus menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk benar-benar merealisasikan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Butuh Keteladanan
Mengajarkan konsep “bermasyarakat” sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kemendikdasmen memerlukan lebih dari sekadar teori. Konsep ini, yang menekankan pada nilai-nilai toleransi, keadilan, dan kesetaraan, harus diiringi dengan contoh nyata agar dapat benar-benar dipahami dan dihayati oleh siswa.

Berita Terkait :  Dorong Pembentukan Regulasi tentang Artificial Intelligence

Siswa membutuhkan teladan konkret dari para tokoh bangsa saat ini, baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Sebagai generasi muda, mereka lebih mudah terinspirasi oleh tindakan nyata dibandingkan sekadar arahan verbal. Oleh karena itu, para pemimpin, pejabat, dan figur publik perlu menjadi cerminan nilai-nilai bermasyarakat yang baik, menunjukkan sikap toleransi dalam keberagaman, memperjuangkan keadilan tanpa pandang bulu, dan menegakkan kesetaraan di berbagai lini kehidupan.

Para tokoh bangsa terdahulu memberikan banyak contoh bagaimana konsep bermasyarakat dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Bung Hatta, misalnya, dikenal sebagai sosok yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan kesederhanaan. Dalam kehidupannya, ia tidak hanya berbicara tentang keadilan, tetapi juga mempraktikkannya dengan hidup sederhana dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat kecil.

Hal serupa juga ditunjukkan oleh Gus Dur dan Buya Syafi’i Maarif, yang menjadi simbol toleransi dan keberagaman di Indonesia. Melalui tindakan nyata, mereka berdua tidak hanya mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan, tetapi juga memperjuangkan hak-hak minoritas, sehingga nilai-nilai kebhinekaan dapat hidup di tengah masyarakat. Keteladanan seperti ini seharusnya diwarisi dan diperlihatkan oleh para pemimpin saat ini agar siswa dapat belajar dari tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

Sebagai bagian dari proses pembelajaran, siswa juga perlu diajarkan bagaimana para tokoh bangsa besar lainnya menciptakan harmoni dalam masyarakat melalui prinsip-prinsip yang mereka pegang teguh. Misalnya, Ki Hajar Dewantara dengan semboyannya ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani mengajarkan pentingnya memberikan teladan di depan, membangun motivasi di tengah, dan memberikan dorongan dari belakang. Konsep ini sangat relevan dalam pendidikan bermasyarakat, di mana para guru, orang tua, dan tokoh bangsa perlu menjadi teladan aktif bagi generasi muda. Tanpa keteladanan, nilai-nilai seperti toleransi, keadilan, dan kesetaraan hanya akan menjadi teori tanpa makna.

Berita Terkait :  Tak Ada Susu Sapi, Susu Ikan pun Jadi

Mengajarkan “bermasyarakat” harus menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya melalui kurikulum formal tetapi juga melalui tindakan nyata yang dapat dilihat, dirasakan, dan dicontoh oleh siswa. Tokoh bangsa saat ini harus bersikap inklusif dan mempraktikkan nilai-nilai yang mereka ajarkan kepada masyarakat. Perlu ada kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat luas untuk menciptakan ruang-ruang belajar yang memberikan pengalaman nyata kepada siswa. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memahami pentingnya hidup bermasyarakat, tetapi juga termotivasi untuk menjadi individu yang mampu menjaga harmoni, memperjuangkan keadilan, dan menjunjung tinggi kesetaraan di masa depan.

Pada akhirnya, mengajarkan “bermasyarakat” bukan hanya tentang menyampaikan materi pendidikan di dalam kelas, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan secara konsisten oleh para tokoh bangsa dan figur publik sebagai teladan nyata. Keteladanan adalah kunci untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, keadilan, dan kesetaraan ke dalam hati generasi muda. Jika para pemimpin bangsa, pendidik, dan masyarakat luas mampu menunjukkan sikap bermasyarakat yang ideal dalam tindakan sehari-hari, maka siswa akan terinspirasi untuk meniru dan mengamalkannya dalam kehidupan mereka. Dengan upaya bersama ini, cita-cita bangsa untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, dan setara dapat lebih mendekati kenyataan, selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Insha Allah kita akan bisa!

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img