Jakarta, Bhirawa
Senator DPD RI Lia Istifhama buka-bukaan soal fenoman pengembalian dana klaim BPJS karena alasan fraud (Kecurangan). Menurutnya, fenomena ini dapat berdampak buruk terhadap kualitas layanan rumah sakit (RS) maupun fasilitas kesehatan (Faskes) rujukan pasien BPJS.
Ditegaskan senator cantik asal Dapil Jawa Timur tersebut, saat ini banyak keluhan dari RS terkait klaim BPJS kesehatan. Meski klaim dibayar lancar, namun masalah di kemudian hari kerap muncul. Yakni kewajiban mengembalikan dana klaim akibat fraud.
“Nominalnya beragam hingga mencapai puluhan miliar bagi satu rumah sakit saja. Anehnya, ada satu RS tipe D namun diminta mengembalikan sampai Rp 30 miliar karena tudingan fraud,” jelas Lia yang juga dikenal Srikandi NU tersebut, Minggu (8/12).
Lia tak menampik pentingnya verifikasi klaim BPJS kesehatan dari RS maupun faskes. Terlebih fraud ini juga memilki dasar hukum yang kuat. Yaknk Permenkes 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Namun, keputusan fraud ini harus jelas mekanismenya. Jangan sampai menyebut fraud sementara mekanisme administrasi sudah dilakukan sesuai prosedur.
“Saya kira RS dalam menangani pelayanan kesehatan selain ada kemanusiaan, pasti juga melakukan verifikasi. Itu seharusnya juga sudah melalui verifikasi pihak BPJS Kesehatan juga,” jelasnya.
Pihaknya berharap, Kemenkes dan BPJS Kesehatan mempertimbangkan banyak aspek sebelum meminta RS melakukan pengembalian biaya pelayanan kesehatan. Karena di lapangan, terlalu banyak hal kompleks yang tidak bisa dianalisa secara tekstual melainkan kontekstual.
“Saya kebetulan pernah bekerja sebagai HRD, jadi paham bagaimana psikologis tenaga kerja atau karyawan saat berobat menggunakan BPJS Kesehatan,” ujar dia.
“Pertama, mereka merasa telah membayar premi BPJS. Sehingga, mereka pun merasa berhak mendapatkan layanan kesehatan terbaik. Sementara semua urusan terkait pasien, menjadi tanggung jawab rumah sakit. Termasuk jika ada keluhan pasien terhadap BPJS, pasti RS yang selalu disalahkan,” sambung Lia.
Secara tegas, ning Lia menyoroti persoalan klaim BPJS kesehatan. Menurutnya, pihak BPJS Kesehatan perlu memiliki sistem akselerasi administrasi yang cepat dan akurat sehingga tidak perlu terjadi pengembalian dana. Jika sudah bulanan apalagi sampai tahunan baru disampaikan, akhirnya bukan saja pihak terkait kelimpungan dengan tanggung jawab pengembalian uang klaim, tapi juga menghambat pekerjaan mereka melayani pasien.
“Kalau administrasi kesehatan jadi beban besar untuk rumah sakit, maka bagaimana mereka bisa melayani sepenuh hati. Sedangkan mereka dituntut harus selalu berbesar hati? Ini kan psikologis manusia yang mereka juga berhak kita perhatikan kesejahteraannya. Jika rumah sakit sehat, maka saya yakin pasien pun sehatnya cepat,” imbuhnya.
Persoalan klaim ini diakuinya telah dibeberkan di hadapan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat mengikuti rapat kerja dengan Komite III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, pada 3 Desember lalu.
Ada beberapa pembahasan dalam rapat kerja pimpinan senator Papua Barat Filep Wamafma tersebut. Diantaranya realisasi program kerja dan anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2024, rencana program kerja dan anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2025, dan permasalahan terkait Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Lebih lanjut, Lia menyoroti rumitnya administrasi BPJS untuk layanan kesehatan. Sementara kenyataannya, setiap pasien berharap bisa segera dilayani dan sembuh. Khususnya jika membutuhkan layanan darurat maupun perawatan intensif.
“Saya kira RS akan menempatkan jiwa kemanusiaan sebagai prinsip utama dalam menangani pasien. Terlepas soal administrasi BPJS atau pasien reguler, menolong pasien adalah prioritas utama,” tegas dia.
Masih terkait pelayanan BPJS, banyak pasien yang tidak bisa dilayani di Rumah Sakit karena menurut BPJS Kesehatan, harusnya dilayani di faskes pertama. Pada posisi ini, Rumah Sakit di daerah pasti yang menjadi sasaran kesalahan dan keluhan pasien.
“Nah, kalau sudah begitu, apakah lagi-lagi rumah sakit yang nanti pusing saat klaim pelayanan kesehatan ditolak BPJS Kesehatan?,” ujar Lia.
“Padahal tidak ada kejadian rekayasa. Pasien ada, sakitnya jelas, pelayanan kesehatan ada, jadi problem kan hanya di administratif. Kalau memang ribet dan sebagainya, maka sosialisasi administratif itu juga harus dijelaskan pada masyarakat agar mereka saat berobat, paham apa aja syarat berobat versi BPJS Kesehatan,” pungkas dia.[tam]