Oleh :
Hasna Wijayati
Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi
Populisme telah menjadi fenomena global menarik yang mewarnai lanskap politik modern. Di Amerika Serikat, Donald Trump adalah simbol paling mencolok dari populisme kontemporer. Sementara di Indonesia, Prabowo Subianto memanfaatkan narasi serupa dalam perjalanan politiknya. Meskipun konteks, budaya, dan sistem politik keduanya berbeda, strategi dan dampak politik mereka menarik untuk disandingkan, terutama dalam hal distribusi kekuasaan, efektivitas pemerintahan, dan implikasi terhadap kualitas demokrasi.
Prabowo: Populisme dalam Wajah Nasionalisme Stabilitas
Dalam Pilpres Indonesia 2024, Prabowo Subianto, bersama pasangannya Gibran Rakabuming Raka, menggunakan narasi nasionalisme stabilitas untuk menarik dukungan masyarakat. Fokus pada harmoni sosial, pembangunan ekonomi, dan penguatan militer menjadi tema utama kampanyenya. Retorika ini efektif dalam memobilisasi basis pendukung, terutama kelompok yang merasa terpinggirkan oleh elit politik lama.
Keberhasilan Prabowo memenangkan pemilu juga berakar pada kemampuan koalisi partai pendukungnya untuk menguasai arena politik lokal. Pilkada 2024, misalnya, menjadi ajang strategis mengamankan loyalitas kepala daerah dan memperkuat pengaruh politik di tingkat akar rumput. Langkah ini memastikan pemerintahan pusat memiliki basis legitimasi yang solid hingga ke tingkat daerah.
Namun, tantangan utama Prabowo adalah bagaimana membangun kabinet yang tidak hanya sekadar alat politik balas budi kepada mitra koalisi. Kabinet gemuk yang dibentuknya, dengan melibatkan berbagai aktor politik, dikhawatirkan menjadi kurang efisien jika tidak diimbangi seleksi berlandaskan kompetensi. Jika loyalitas politik mendominasi pengambilan keputusan, ada risiko birokrasi menjadi alat yang lambat dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Trump: Narasi Amerika dan Polarisasi Massa
Di sisi lain, Donald Trump mewujudkan politik populis dalam skala yang lebih ekstrem di Amerika Serikat. Kemenangan Trump dalam Pemilu 2024 menunjukkan keberlanjutan daya tarik narasi “America First.” Ia sukses menciptakan resonansi dengan pemilih konservatif dan kelas pekerja kulit putih yang merasa diabaikan oleh politik arus utama.
Namun, strategi politik Trump sering kali mengandalkan polarisasi. Narasi populisnya memanfaatkan ketidakpuasan terhadap globalisasi, migrasi, dan kebijakan lingkungan. Polarisasi ini memperkuat loyalitas basis pendukungnya, tetapi sekaligus memperlebar jurang perpecahan di masyarakat Amerika. Bahkan, dalam masa pemerintahannya sebelumnya, Trump dikritik karena lebih mengutamakan loyalitas politik dibandingkan kompetensi dalam memilih kabinetnya.
Meski kabinet Trump tergolong ramping, ia kerap dianggap tidak efisien dalam menghadapi isu-isu kompleks. Misalnya, isu pandemi COVID-19 dan dinamika geopolitik global. Ketergantungan pada narasi populis tanpa dukungan tata kelola yang baik telah menimbulkan keraguan terhadap kemampuannya untuk memimpin dengan inklusivitas.
Distribusi Kekuasaan dan Efisiensi Pemerintahan
Perbedaan mencolok antara populisme Prabowo dan Trump terletak pada pendekatan mereka terhadap distribusi kekuasaan. Trump lebih condong memusatkan kekuasaan pada lingkaran loyalisnya, yang sering kali tidak memiliki kompetensi teknis yang memadai. Hal ini menciptakan pemerintahan yang cenderung tidak stabil dan penuh kontroversi.
Sebaliknya, Prabowo, dengan latar belakang militer dan pendekatan nasionalisnya, berupaya menciptakan stabilitas melalui kabinet yang mengakomodasi berbagai kepentingan politik. Namun, pendekatan ini juga memiliki risiko, terutama jika kabinet gemuk tidak diiringi dengan pengawasan yang efektif. Dalam konteks Indonesia, model desentralisasi yang kuat dapat menjadi aset untuk memastikan pemerintahan tetap responsif, selama koordinasi antara pusat dan daerah berjalan dengan baik.
Tantangan Global dan Harapan Demokrasi
Kemenangan populisme di kedua negara ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana narasi yang kuat dapat memobilisasi emosi masyarakat. Namun, populisme juga membawa risiko besar terhadap keberlanjutan demokrasi. Polarisasi yang dihasilkan dari narasi populis dapat melemahkan kohesi sosial, sementara distribusi kekuasaan yang tidak transparan berpotensi merusak institusi demokrasi.
Prabowo memiliki peluang untuk belajar dari kesalahan Trump dalam mengelola pemerintahan populis. Tantangan global yang dihadapi, seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan transformasi digital, membutuhkan pemerintahan yang efisien, terintegrasi, dan kompeten. Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa populisme tidak selalu berarti kompromi terhadap kualitas tata kelola.
Politik Populis Mana yang Lebih Demokratis?
Baik Prabowo maupun Trump menunjukkan bahwa politik populis adalah senjata ampuh untuk memenangkan kekuasaan. Namun, keberhasilan sejati terletak pada bagaimana kekuasaan itu digunakan. Jika Prabowo mampu memadukan populisme dengan tata kelola yang baik, ia berpotensi menjadi model yang lebih efektif dibandingkan Trump, yang kerap dianggap gagal dalam memimpin secara inklusif dan efisien.
Demokrasi modern membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai merangkai narasi, tetapi juga mampu mewujudkan kebijakan yang konkret dan berkeadilan. Di tengah tantangan global yang makin kompleks, populisme harus diarahkan untuk membangun bangsa, bukan memecah belah. Prabowo dan Trump adalah dua wajah populisme yang berbeda. Lantas, mana yang lebih demokratis? Waktu menunjukkan siapa yang lebih berhasil mengarahkan retorika populis mereka demi kebaikan rakyat.
————– *** —————–