Refleksi Hari Gizi Nasional ke-65, 25 Januari 2025
Oleh :
Andriyanto
Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Jawa Timur dan Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Nutrisionis Indonesia (AsNI).
Judul di atas merupakan tema hari gizi nasional tahun 2025 dimana bersamaan dan relevan dengan dimulainya Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan oleh Pemerintah. Terlepas dalam pelaksanaan program MBG tersebut dijumpai banyak kendala dan kesulitan penganggarannya, tetap perlu diapresiasi filosofi dasar pemberian tersebut. Evaluasi dan perbaikan implementasinya sudah barang tentu terus dilakukan guna menjadi jauh lebih baik. Berharap dengan program MBG ini, di tahun 2045 Generasi Emas Indonesia yang berkualitas akan terwujud.
Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Sesungguhnya, pemberian makanan kepada seseorang itu akan berbeda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kebutuhan golongan usia tertentu. Kebutuhan dan kecukupan gizi balita, anak sekolah, ibu hamil dan lainnya akan berbeda. Hal ini harus berdasarkan apa yang disebut angka kecukupan gizi yang dianjurkan, yaitu angka rata-rata asupan gizi yang dibutuhkan per hari untuk memenuhi kebutuhan gizi sebagian besar orang. AKG ini mencakup berbagai zat gizi, seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air.
Mengapa harus sesuai dengan AKG? Dalam prinsip ilmu gizi, status gizi seseorang itu, apa gizi kurang; stunting; kegemukan; anemia gizi; dan lain-lain itu terjadi karena ketidakesimbangan antara kebutuhan (input) dan pengeluaran (output) zat gizi. Sehingga bila dalam jangka waktu yang lama seseorang kekurangan zat gizi tertentu, maka dia akan mengalami malnutrisi (gizi salah). Faktor-faktor yang menentukan AKG adalah: usia; jenis kelamin; berat badan; tinggi badan; aktivitas fisik; dan kondisi fisiologis.
Sebagai contoh, kecukupan energi dan protein anak laki-laki usia 10-12 tahun per hari adalah 2.000 kalori dan 50 gram protein yang berbeda dengan ibu hamil usia 19-29 tahun sebanyak 2.550 kalori dan sekitar 75 gram protein. Berarti rata-rata satu kali makan siang untuk anak sekolah yang sehat, rata-rata dibutuhkan kurang lebih 700 kalori dan 20 gram protein, bila ibu hamil sehat dibutuhkan kurang lebih 850 kalori dan 25 gram protein. Artinya, bila tidak terpenuhi zat gizi yang dibutuhkan tersebut dalam jangka waktu yang lama, mereka akan mengalami masalah gizi. Dan AKG ini telah tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 Tahun 2019.
MBG dan Stunting
Menjadikan MBG sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pencegahan dan penanggulangan stunting sangatlah penting. Gambaran masih tingginya prevalensi Stunting di Indonesia yang masih 21,5% ini, menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan melalui MBG, terutama protein hewani kepada anak sekolah dan ibu hamil, diharapkan mempercepat penyelesaian stunting.
Seperti kita ketahui bahwa stunting merupakan tragedi yang tersembunyi. Stunting terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan perkembangan anak yang irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa. Hal ini dipertegas oleh World Bank dan UNICEF bahwa stunting menggambarkan kegagalan pertumbuhan yang terjadi dalam jangka waktu lama, dan dihubungkan dengan penurunan kapasitas fisik dan psikis, penurunan pertumbuhan fisik, dan pencapaian di bidang pendidikan rendah.
Studi-studi saat ini menunjukkan bahwa anak stunting sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang turun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-anak Stunting menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa akan datang.
Stunting, berdampak dalam bentuk kurang optimalnya kualitas manusia, baik diukur dari kemampuan mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, rendahnya daya saing, rentannya terhadap penyakit tidak menular (kanker, jantung, DM, gagal ginjal, dan lain-lain), yang semuanya bermuara pada menurunnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain Stunting dapat memiskinkan masyarakat. Suatu yang menggembirakan bahwa berbagai masalah tersebut diatas bukan disebabkan terutama oleh faktor genetik yang tidak dapat diperbaiki seperti diduga oleh sebagian masyarakat, melainkan oleh karena faktor lingkungan hidup yang dapat diperbaiki dengan fokus pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Kompleksitas masalah gizi yang sampai saat ini masih diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia terjadi bukan disebabkan hanya oleh satu dua faktor seperti faktor daya beli dan kebiasaan makan masyarakat, akan tetapi disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat makro maupun mikro. Akibatnya, jelas akan menjadikan masyarakat menjadi tidak sehat dan tidak cerdas dalam menaungi kehidupannya, yang pada gilirannya akan menjadi beban Pemerintah. Dengan demikian, dikatakan bahwa masalah stunting bersifat multidimensi menyangkut kemiskinan, ketidaktahuan, gaya hidup, sosial budaya dan bahkan politik.
Keluarga Sehat
Pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah satu prioritas nasional guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan manusia Indonesia yang tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas. Intervensi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, sejak kehamilan sampai anak berusia 2 tahun sebuah keharusan. Namun, upaya pencegahan dan penanganan ini tidak bisa dilakukan oleh hanya Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan, semata. Peran dari Masyarakat; Perguruan Tinggi; Media; dan Dunia Usaha turut andil juga. Penanganan Stunting haruslah holistik, integratif dan spasial (spesifik daerah). Inovasi mempercepat pencegahan Stunting sejatinya harus diciptakan dan dikembangkan demi terciptanya keluarga sehat, harapan kita bersama. Salah satunya dengan dilakukannya Behaviour Change Communication (BCC), yaitu bagaimana menciptakan perilaku masyarakat yang baru dan positif, sehingga menjadi sebuah habit atau kebiasaan baik.
Dalam membantu menciptakan keluarga sehat, tenaga kesehatan khususnya Nutrisionis dapat memberikan informasi perubahan perilaku gizi kepada masyarakat tentang anjuran pemenuhan gizi. Mulai dari memberikan informasi bahan makanan, memilih dan memilah makanan bergizi, dan cara pengolahannya dengan semaksimal mungkin menggunakan bahan makanan (lokal) bernilai gizi baik dan terjangkau. Gizi seimbang artinya makanan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan memerhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih, dan berat badan (BB) ideal.
Selain itu, masyarakat juga perlu terus dimotivasi untuk mengusahakan penyediaan dan konsumsi makanan yang sehat, bergizi, dan tepat. Masyarakat perlu diedukasi bahwa makanan yang sehat dan bergizi bukan makanan yang mahal. Sehingga masyarakat perlu mengetahui makanan apa saja yang bergizi dan terjangkau. Sumber zinc dari pangan hewani terdiri dari: susu; telor; daging; dan ikan (tawar atau laut) terutama jenis tiram atau kerang. Tentunya bagaimana mengajarkan kepada Ibu-Ibu di desa/masyarakat tentang cara memilih dan memilah makanan; cara memasak makanan; dan cara menghidangkan atau memberi makanan kepada Anak-anak kita.
Memang sejatinya, program penanggulangan masalah gizi melalui MBG ini harus dipandang sebagai bagian investasi untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan pendidikan dan kesehatan. Perbaikan gizi pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan akan menunjang proses tumbuh kembang janin, bayi dan anak sampai usia 2 tahun, sehingga siap dengan baik memasuki dunia pendidikan. Inovasi dalam hal ini menjadi sangat lah penting. Inovasi itu katalisator kesejahteraan. Sehingga, selanjutnya perbaikan gizi masyarakat melalui MBG tidak saja meningkatkan kesehatan keluarga, namun juga meningkatkan pendapatan keluarga. Selamat Hari Gizi Nasional.
———— *** ————-