Surabaya, Bhirawa.
Target pertumbuhan ekonomi domestik menjadi 8 persen agaknya menjadi proyeksi target yang ‘gamang’ ketika kemudian pemerintah memutuskan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Tentu, hal ini menjadi hal yang perlu dikondisikan secara matang dan penuh pertimbangan baik akademik maupun praktis, perlu juga diingat kembali bahwa rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen telah bergulir sejak satu hingga dua tahun kebelakang,
“Bila kembali kita ingat, Menteri Keuangan sebagai representasi pemerintah menilai perlu adanya optimalisasi pendapatan negara agar konsumsi dan daya beli masyarakat selaras dengan pendapatan negara sehingga pembangunan dapat dilakukan dengan baik dan merata,” terang Ketua Pengurus Wilayah SAPMA (Satuan Pelajar Mahasiswa) Pemuda Pancasila Jawa Timur, Arderio Hukom, Senin (23/12).
Arderio menambahkan bahwa pernyataan tersebut diharmonisasikan dengan kebijakan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek antara lain rumah tangga, buruh dan pekerja, UMKM, industri padat karya, kendaraan listrik dan hibrida serta properti yang kemudian keenam aspek ini ‘kata’ Menteri Keuangan akan dirancang sekomprehensif mungkin agar dapat memunculkan keseimbangan luaran dan capaian pertumbuhan ekonomi domestik.
Semoga itu, di sekitaran bulan Oktober dan November lalu, rakyat sempat sedikit ‘lega dan terhibur hatinya’ dengan kebijakan bahwa PPN 12 persen nantinya hanya mencakup barang-barang mewah yang mengacu pada klausa pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 seperti diantaranya, hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara dan kapal pesiar mewah.
Ditambah pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang menyatakan implementasi kebijakan PPN 12 persen hampir pasti diundur. Namun, pada kenyataannya, menjelang pergantian tahun justru pemerintah memasang ‘ancang-ancang’ untuk bersiap menekan tombol ‘Start’ terhadap kebijakan kenaikan PPN tersebut.
.
Maka, menanggapi hal tersebut, SAPMA Pemuda Pancasila Jawa Timur menyatakan sikap antara lain, 1. Kenaikan PPN 12 Persen secara perlahan semakin menguatkan posisi sektor Pendidikan sebagai komoditas komersial yang layak diperjual-belikan dengan harga yang cukup, tentu hal ini memiliki implikasi yang negative terhadap dunia pendidikan domestik, kenaikan PPN 12 persen nantinya juga akan berdampak pada penyelenggaraan pendidikan premium, apa akibatnya?
Tentu, akan terjadi ketimpangan secara kualitatif terhadap komponen-komponen yang mempengaruhi jasa penyelenggaraan pendidikan. Tentu juga akan muncul disparitas yang lebih kental antara ‘Pendidikan Biasa’ dan ‘Pendidikan Premium ber-PPN 12%’, lebih dalam lagi, akan lebih banyak muncul ‘Sekolah Sultan’ dan ‘Sekolah Proletar – Medioker’
- Kenaikan PPN 12 Persen ‘katanya’ masih cukup rendah diantara nilai pungutan pajak tunggal di negara-negara lain, namun perlu kita cermati, bila di awal tahun 2025 pemerintah benar-benar menerapkan kebijakan PPN 12 Persen, maka pajak dinegara kita adalah yang tertinggi di kawasan ASEAN sama dengan Filipina.
Negara-negara ASEAN lainnya memiliki tarif PPN yang lebih rendah. Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja menetapkan tarif sebesar 10 persen, dengan Vietnam sementara menurunkan tarifnya menjadi 8 persen hingga pertengahan 2025 untuk mendorong pemulihan ekonomi. Sementara itu, Singapura menetapkan tarif PPN sebesar 9 persen, Thailand 7 persen, dan Myanmar 5 persen. Brunei Darussalam serta Timor Leste bahkan tidak menerapkan PPN pada transaksi dalam negeri.
- Melalui rilis ini, SAPMA PP Jatim meminta pemerintah untuk dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut untuk mendorong tujuan pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen seperti tujuan Bapak Presiden Republik Indonesia.
Kalaupun memang kenaikan nilai pajak memang harus diterapkan, maka kami menyarankan pemerintah untuk meninjau dan memperbaiki klausa-klausa yang memiliki implikasi baik secara langsung maupun tidak langsung didalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.[riq.ca]