Proyek Strategis Satelit Republik Indonesia (SATRIA-1)
Oleh:
Adelia Zukhruf Firdausi
Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Akses terhadap internet telah menjadi kebutuhan esensial di era globalisasi. Namun, tantangan geografis yang kompleks di Indonesia menyebabkan kesenjangan digital, khususnya di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah Indonesia menginisiasi peluncuran SATRIA-1 (Satelit Republik Indonesia), sebuah proyek strategis yang memanfaatkan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagai bagian dari pendekatan Public-Private Partnership (PPP). Tidak hanya berfokus pada transformasi digital, SATRIA-1 juga mengadopsi prinsip keberlanjutan berdasarkan Long-Term Sustainability of Outer Space Activities (LTS Guidelines) yang disusun oleh PBB.
SATRIA-1 adalah satelit multifungsi yang dirancang untuk menyediakan akses internet sebesar 149.400 titik layanan publik, termasuk sekolah, fasilitas kesehatan, dan kantor pemerintahan di wilayah terpencil. Dengan kapasitas sebesar 150 Gbps, satelit ini diharapkan menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Proyek ini tidak hanya menjawab kebutuhan konektivitas digital tetapi juga mendukung berbagai inisiatif strategis nasional, seperti program Merdeka Belajar, layanan kesehatan jarak jauh, dan digitalisasi layanan administrasi publik.
Peluncuran SATRIA-1 menjadi tonggak penting dalam upaya pemerintah untuk mempercepat pemerataan akses internet di Indonesia. Dengan mengurangi ketimpangan digital, proyek ini membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah terpencil, memperkuat inklusi digital, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi. Selain itu, SATRIA-1 menjadi sarana untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam tata kelola ruang angkasa, menjadikannya lebih relevan di forum internasional seperti UNCOPUOS.
Skema KPBU memungkinkan pemerintah untuk bekerja sama dengan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur strategis seperti SATRIA-1. Dalam proyek ini, pemerintah menggandeng PT Satelit Nusantara Tiga (PSNT), sebuah konsorsium swasta yang bertanggung jawab atas desain, pembiayaan, konstruksi, peluncuran, dan pengoperasian satelit selama masa kontrak. Proyek ini memiliki nilai investasi sebesar Rp21,4 triliun dan menjadi proyek satelit multifungsi terbesar di Asia Tenggara.
Pendanaan proyek berasal dari kombinasi dana publik dan investasi swasta, dengan dukungan dari lembaga internasional seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Melalui skema KPBU, risiko proyek dibagi secara proporsional antara pemerintah dan mitra swasta. Pemerintah menyediakan kerangka regulasi dan kebijakan yang mendukung, sementara sektor swasta membawa keahlian teknis dan manajerial untuk memastikan efisiensi pelaksanaan proyek. Salah satu mekanisme penting dalam proyek ini adalah skema availability payment (AP), di mana pemerintah melakukan pembayaran kepada mitra swasta berdasarkan ketersediaan layanan yang disediakan oleh satelit. Skema AP ini memberikan kepastian pendapatan bagi sektor swasta dan mendorong mereka untuk mempertahankan kualitas layanan selama masa kontrak.
PPP adalah model kerja sama yang mengintegrasikan sumber daya dan keahlian sektor publik dan swasta untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks SATRIA-1, PPP tidak hanya menjadi solusi untuk pembiayaan proyek tetapi juga mendukung pencapaian prinsip keberlanjutan. Konsep ini sangat sejalan dengan LTS Guidelines, yang menekankan pentingnya keberlanjutan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa untuk generasi saat ini dan mendatang.
Guideline B dari LTS Guidelines, misalnya, menyoroti pentingnya keselamatan operasional luar angkasa, termasuk mitigasi risiko puing antariksa. SATRIA-1 mengadopsi teknologi mutakhir untuk memastikan operasional yang aman, sekaligus mendukung pemantauan lingkungan antariksa melalui sistem seperti Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) yang dioperasikan BRIN. Selain itu, Guideline C yang mendorong kolaborasi internasional dan pembangunan kapasitas juga tercermin dalam kerja sama antara pemerintah Indonesia, PSNT, dan AIIB. Dengan demikian, proyek ini tidak hanya menjawab kebutuhan nasional tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam tata kelola luar angkasa global.
Proyek ini juga mencerminkan efisiensi operasional dan pembagian tanggung jawab yang jelas antara sektor publik dan swasta. Dalam PPP, salah satu tantangan terbesar adalah mengelola perbedaan orientasi antara pemerintah yang berfokus pada pelayanan publik dan sektor swasta yang berorientasi pada keuntungan. Untuk mengatasi hal ini, SATRIA-1 dirancang dengan kontrak yang mencakup metrik keberhasilan proyek yang transparan, termasuk penyelesaian tepat waktu dan pengoperasian sesuai spesifikasi yang telah disepakati.
Dalam implementasinya, proyek SATRIA-1 juga menunjukkan pentingnya mitigasi risiko. Risiko utama, seperti kegagalan peluncuran satelit atau gangguan teknis dalam operasional, diantisipasi melalui asuransi komprehensif yang didukung oleh PSNT. Selain itu, proyek ini juga telah mematuhi regulasi International Telecommunication Union (ITU) terkait penggunaan orbit dan spektrum frekuensi. Kepatuhan terhadap regulasi ini memastikan bahwa SATRIA-1 tidak hanya memenuhi kebutuhan nasional tetapi juga mendukung ekosistem antariksa yang berkelanjutan.
Namun, penerapan LTS Guidelines tidak hanya berhenti pada aspek teknis. Guideline D, yang menekankan pentingnya riset dan pengembangan teknologi ruang angkasa yang berkelanjutan, menjadi panduan utama bagi Indonesia dalam meningkatkan kapasitas nasional. Melalui SATRIA-1, Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan tenaga kerja yang terampil di bidang teknologi antariksa. Hal ini dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan institusi pendidikan tinggi dan program pelatihan berbasis teknologi satelit.
Tantangan lain yang dihadapi adalah memastikan keberlanjutan proyek setelah masa kontrak selesai. Setelah satelit diserahkan kepada pemerintah, diperlukan mekanisme pemeliharaan yang handal untuk memastikan satelit tetap berfungsi optimal hingga akhir masa operasionalnya. Dalam konteks ini, pemerintah dapat belajar dari negara-negara lain yang telah berhasil mengelola proyek serupa, seperti Brazil dengan program satelitnya yang juga memanfaatkan skema PPP. Selain itu, pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dapat memperkuat keberlanjutan jangka panjang SATRIA-1.
SATRIA-1 adalah contoh nyata bagaimana PPP dapat menjadi alat strategis untuk menjawab kebutuhan infrastruktur sekaligus mendukung keberlanjutan ruang angkasa. Dengan mengintegrasikan skema KPBU dan prinsip LTS Guidelines, proyek ini tidak hanya menyediakan solusi untuk kesenjangan digital tetapi juga mendorong transformasi digital yang lebih luas. Dalam jangka panjang, SATRIA-1 akan memperkuat infrastruktur digital Indonesia dan meningkatkan daya saing nasional di tingkat global.
Keberhasilan SATRIA-1 membuka peluang bagi Indonesia untuk memainkan peran lebih besar dalam tata kelola ruang angkasa global. Proyek ini membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dapat menghasilkan dampak positif yang signifikan. Pengalaman dari proyek ini dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk mengadopsi model serupa dalam pembangunan infrastruktur ruang angkasa.
Proyek SATRIA-1 menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta melalui skema KPBU dapat menghasilkan manfaat yang signifikan bagi masyarakat dan mendukung keberlanjutan ruang angkasa. Dengan memadukan teknologi canggih, kerangka regulasi yang kuat, dan prinsip LTS Guidelines, SATRIA-1 menjadi simbol transformasi digital dan pengelolaan ruang angkasa yang bertanggung jawab. Proyek KPBU ini harus dijadikan inspirasi untuk proyek-proyek serupa di masa depan, memastikan bahwa eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa memberikan manfaat jangka panjang bagi umat manusia. [*]