27 C
Sidoarjo
Thursday, October 3, 2024
spot_img

Menanti Sikap KPU Mengenai Batasan Usia

Oleh :
Anang Dony Irawan
Dosen FH Universitas Muhammadiyah Surabaya
Anggota APHTN-HAN dan MAHUTAMA

Batasan usia yang menjadi salah satu syarat bagi Warga Negara Indonesia dalam melamar pekerjaan maupun untuk bisa menjadi salah satu kontestan Pemilihan Umum atau Pemilihan Umum Kepala Daerah maupun lembaga Negara seringkali menjadi perhatian yang tidak bisa luput mengalami judicial review yang dilakukan ke Mahkamah Konstitusi.

Apalagi ditengah-tengah hiruk pikuk partai politik dalam mempersiapkan pasangan calon kepala daerah dalam gelaran Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak tahun 2024, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang mengenai batas usia calon kepala daerah.

Putusan ini tentu sudah banyak kita ketahui bahwasannya bersifat erga omnes, final dan mengikat sejak diucapkan. Putusan tersebut berlaku bagi semua, termasuk lembaga negara. Tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan setelah putusan itu diucapkan secara terbuka dalam Sidang Mahkamah Konstitusi. Dengan kondisi yang ada belakangan ini, khususnya setelah adanya Putusan MK tersebut terlihat terjadi kegusaran di banyak kalangan. Adanya Putusan MK Nomor 70/2024 itu dapatlah dipandang cukup progresif. Mengapa progresif ? Karena putusan ini bisa dianggap “menganulir” Putusan MA No. 23P/HUM/2024 yang memutuskan terkait batas usia bagi Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya adalah berusia 30 tahun terhitung sejak pelantikan menjadi berusia 30 tahun terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon. Kalau memperhatikan frasa “terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih” secara pemikiran hukum bisa dikatakan tidak masuk akal. Kenapa demikian ? Karena ketika pasangan tersebut sudah dilantik, maka mereka bukanlah dianggap sebagai pasangan calon lagi, tetapi sudah termasuk pasangan calon terpilih.

Berita Terkait :  Bahasa Gaul "Menyala": Refleksi Dinamika Sosial

Atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian memantik reaksi dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk segera melakukan revisi UU Pilkada sebagai tindak lanjut putusan MK tersebut. Secara konstitusional, yang berwenang atau yang wajib menindaklanjuti putusan MK memang DPR bukan KPU yang memiliki fungsi legislasi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 UUD 1945 mengatur bahwa DPR memegang kekuasaan dalam pembentukan UU. Karena yang diuji oleh MK merupakan Undang-Undang (UU), bukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Ada beberapa putusan MK yang selama ini ditindaklanjuti bukan oleh pembentuk UU, tetapi oleh lembaga lainnya, misalnya KPU. Kita tentu masih ingat adanyaPutusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang kala itu begitu kontroversi.Putusan tersebut dianggap telah memberikan “restu”untuk Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Prabowo Subianto sebagai Capres. Saat itu yang menindaklanjuti putusan MK bukanlah DPR dan Presiden, melainkan KPU yang melakukan revisi terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023.

Apalagi dalam menyikapi Putusan MK No. 70/2024, Baleg DPR justru telah bersepakat untuk mengabaikan Putusan MK tersebut dan malah mengikuti Putusan MA untuk merevisi UU Pilkada terkait dengan batas usia Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah. Akhirnya memantik respon yang negative juga dari masyarakat maupun akademisi, bahkan para Guru Besar. Adanya Putusan MA terkait batas usia Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah hasil dari adanya pengujian terhadap PKPU yang dianggap bertentangan dengan UU Pilkada. Harusnya DPR lebih memilih frasa yang telah diputuskan oleh MK, bukan malah DPR memilih frasa yang telah diputuskan oleh MA. Karena MK itu menguji UU, sehingga jika ada Pasal dalam UU yang telah diputus oleh MK, maka pembentuk UU terikat pada putusan MK, bukan pada putusan MA.

Berita Terkait :  Tragedi Rafah dan Bukti Cacatnya Hukum Internasional

Putusan MK Nomor 70/2024 tetap memberlakukan adanya batas usia calon kepala daerah sebagaimana yang telah diatur didalam Pasal 7 ayat (2) huruf e. Putusan tersebut jelas berbeda terhadap Putusan Mahkamah Agung. Hakim Konstitusi, Saldi Isra sampai menjelaskan bahwa Mahkamah telah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo.

Saat ini masyarakat menunggu sikap KPU untuk menindaklanjuti Putusan MK No. 70/2024 tersebut. Masyarakat masih khawatir dikarenakan PKPU yang mengikuti putusan MK tersebut belumlah terbit. Publik khawatir PKPU akan kembali “disiasati” oleh para elite politik lagi, sehingga PKPU tak sepenuhnya memakai Putusan MK yang terbaru. Bisa saja kekhawatiran ini muncul atas apa yang telah dibahas di dalam Baleg DPR beberapa waktu yang lalu, kemudian pandangannya dibawa saat rapat konsultasi KPU ke Komisi II DPR terkait PKPU. Sehingga, bisa saja putusan MK tidak lagi dipakai dan PKPU akan tetap dengan revisi UU Pilkada yang batal untuk disahkan. Jangan ada penyelundupan hukum dalam negara hukum (rechtsstaat). Karena Negara Hukum adalah negara yang berlandaskan pada peraturan hukum, guna menjamin adanya keadilan bagi seluruh warga masyarakatnya.

————– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img