30.2 C
Sidoarjo
Tuesday, June 24, 2025
spot_img

Membaca adalah Merawat Kemanusiaan

Oleh :
Arief Azizy
Bergiat di Jaringan GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat dan instan, membaca tampak seperti aktivitas yang asing dan nyaris dilupakan. Kita hidup dalam peradaban layar yang menyajikan informasi dengan kecepatan kilat, tetapi melahirkan pemahaman yang dangkal. Padahal, membaca bukan sekadar kegiatan menyerap informasi, melainkan proses merawat kesadaran, memperhalus empati, dan menyuburkan kemanusiaan.

Membaca bukanlah perkara teknis membunyikan huruf. Ia adalah perjalanan batin. Lewat membaca, kita belajar menjadi manusia: mengenali perasaan, memahami pengalaman orang lain, menimbang nilai-nilai, dan merenungkan makna. Buku menjadi jembatan ke dalam dunia yang lebih luas dan lebih dalam, tempat kita bisa bersua dengan ide, imajinasi, dan renungan yang menantang kenyamanan kita sendiri.

Seno Gumira Ajidarma pernah menulis, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena sastra adalah suara hati manusia.” Ungkapan ini tidak hanya mengacu pada sastra sebagai genre tulisan, tapi juga pada bacaan secara lebih luas yang mampu menyuarakan hal-hal yang tak terjangkau oleh media arus utama. Di sinilah letak pentingnya membaca: ia bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga kepekaan. Ia adalah cara kita tetap menjadi manusia di tengah dunia yang makin membatu oleh kebisingan dan kekerasan.

Namun sayangnya, membaca belum menjadi budaya dominan di negeri ini. Kita tahu, data dari UNESCO beberapa tahun lalu menyebut minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, bahkan hanya 0,001 persen-yang berarti dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca. Meski ada perdebatan soal metodologi data ini, ia tetap menyentil nurani kita: apakah kita benar-benar telah menjadikan membaca sebagai bagian dari kehidupan?

Berita Terkait :  Gus Kholil: Khofifah adalah Ibu Santri Jawa Timur

Peringatan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei seharusnya menjadi momen refleksi. Bukan sekadar perayaan simbolik, tapi pengingat bahwa membaca adalah fondasi utama masyarakat yang waras dan adil. Bangsa yang tidak gemar membaca akan mudah dikendalikan oleh opini sesaat, rentan terhasut hoaks, dan rapuh menghadapi disinformasi. Literasi bukan soal bisa membaca saja, tetapi kemampuan memahami, memilah, dan menafsirkan dengan kritis.

Di sekolah, buku pelajaran masih menjadi beban hafalan, bukan sumber inspirasi. Sementara di rumah, belum semua keluarga menyediakan ruang khusus untuk buku dan bacaan. Di ruang publik, perpustakaan kerap sepi, padahal mall dan tempat hiburan selalu padat. Belum lagi media sosial yang setiap detik menyajikan beragam konten ringan, seringkali sensasional, yang mempersempit rentang atensi kita. Kita terbiasa scroll tanpa merenung. Kita membaca tanpa betul-betul menyerap.

Ironisnya, di tengah gempuran konten digital, justru muncul gelombang baru kecemasan, kebingungan identitas, dan kehilangan arah. Di sini, membaca kembali menemukan urgensinya. Buku mengajarkan kita bertahan dalam keheningan. Ia mengajak berpikir secara mendalam dan bertemu dengan hal-hal yang tak terduga. Dalam dunia yang penuh kebisingan ini, membaca adalah bentuk perlawanan.

Para pemikir besar di masa lalu dan kini, tak lahir dari ruang hampa. Mereka adalah hasil dari pertemuan panjang dengan buku, dari dialog batin yang terus-menerus dengan pikiran orang lain. Bung Hatta, misalnya, mengisi masa pengasingannya dengan membaca dan menulis. Dalam keterbatasan, ia tetap menjaga semangat berpikir. Dalam memoarnya, ia bahkan pernah berkata, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Sebuah kalimat yang menggetarkan dan mengingatkan bahwa kemerdekaan batin dapat ditemukan dalam lembar-lembar buku.

Berita Terkait :  Sidang Lanjutan Terdakwa Pj Kades Ragung, Anggota Polisi dan Wartawan Jadi Saksi

Hari ini, kita tidak sedang dipenjara secara fisik. Tapi bisa jadi kita terpenjara oleh distraksi. Oleh rutinitas yang membuat kita lupa merenung. Oleh budaya konsumsi yang membuat kita abai pada kedalaman. Maka membaca menjadi lebih dari sekadar kebiasaan intelektual. Ia adalah praktik sosial dan spiritual yang menyelamatkan.

Penting bagi negara, sekolah, media, dan keluarga untuk kembali menempatkan membaca sebagai pilar utama pembangunan manusia. Kita memerlukan kebijakan literasi yang tidak hanya menyentuh angka-angka, tapi menyentuh cara hidup. Pustaka keliling, perpustakaan digital, kampanye baca, dan gerakan tukar buku harus terus digaungkan. Namun lebih dari itu, kita butuh teladan. Butuh sosok-sosok yang memperlihatkan bahwa membaca adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan semata tugas akademik.

Media massa seperti koran cetak juga punya peran besar dalam hal ini. Di tengah tekanan industri media digital, koran tetap bisa menjadi ruang bagi refleksi, gagasan, dan narasi mendalam-yang tidak bisa didapatkan dari konten ringkas media sosial. Rubrik opini, resensi buku, dan esai-esai kebudayaan adalah oase bagi pembaca yang ingin lebih dari sekadar headline.

Kita perlu menciptakan ekosistem literasi yang tidak hanya mengandalkan guru, pustakawan, atau aktivis komunitas, tetapi melibatkan semua lapisan masyarakat. Ketika buku kembali diberi tempat terhormat, ketika membaca kembali menjadi aktivitas yang diagungkan, saat itu pula kita sedang merawat akal sehat, empati, dan kemanusiaan kita.

Berita Terkait :  Umat Hindu Suku Tengger Rayakan Hari Raya Kuningan

Membaca adalah kegiatan yang sepi, tapi dampaknya tak pernah sunyi. Ia membentuk cara pandang, menata ulang emosi, dan memperkaya imajinasi. Ia tidak membuat kita lebih tinggi dari orang lain, tapi membuat kita lebih dalam memahami sesama. Di tengah dunia yang begitu mudah menghakimi dan membenci, membaca memberi kita jeda. Memberi kita kesempatan untuk memahami sebelum menilai, dan mendengar sebelum menjawab.

Pada akhirnya, jika kita ingin hidup dalam masyarakat yang berpikir, bukan sekadar bereaksi, maka kita harus mulai dari yang paling sederhana: membaca. Karena seperti yang telah dikatakan berulang kali oleh para bijak zaman dulu hingga kini-buku adalah jendela dunia. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa kita sebenarnya, dan ke mana kita bisa melangkah sebagai manusia.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru