Kota Malang, Bhirawa
Tonggak penting sejarah Kota Malang adalah Kisah Ken Arok dan Ken Dedes Kini disuguhkan dalam sebuah penampilan bertajuk “Cerita Tutur: Ken A?rok Amurwabhumi dan Keanggunan Ken Dedes. Acara yang merupakan bagian dari Festival Singhasari 2: Singhasari Culture Parade ini dihelat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang di Gedung Kesenian Gajayana Malang, akhir pekan kemarin.
Kemegahan Kerajaan Singhasari ini diusung dengan konsep baru dalam seni pertunjukan, lewat visual dari cerita tutur yang disajikan dengan unik dan menarik. Sendratari ini melibatkan 108 talent dari sejumlah sekolah mulai SMPN 3, 4, 12, 15, 18 dan 24 Kota Malang.
Diawali dengan penampilan world music dari Arca Tatasawara, panggung dibuka dengan Tari Beskalan massal yang dibawakan 20 penari. Selanjutnya, sendratari ini disuguhkan Art Director Prof. Robby Hidajat melalui sejumlah adegan berbasis seni pertunjukan rakyat di Malang Raya dalam adegan dolanan anak, pasar tempo dulu, maupun suasana di kerajaan yang melibatkan Bantengan, Jaranan, Wayang Topeng, maupun Seni Teater, selain tokoh-tokoh utama tentunya, seperti Ken Arok, Ken Dedes dan Empu Gandring.
Prof Robby menjahit dan mengemas semua elemen dalam sebuah pagelaran berdurasi kurang dari 120 menit yang menonjolkan ‘kekuatan’ atau unggulan masing-masing sekolah, seperti seni batik, seni tari, karawitan hingga seni teater.
“Persiapan hanya sebulan, namun saya bersyukur para talent ini benar – benar support,” ujarnya di tengah kesibukan memantau acara yang dihadiri ratusan undangan, khususnya para orang tua/wali dari talent.
Dosen Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang ini menambahkan, ia sengaja menyajikan sebuah kisah sejarah yang lebih berbasis kerakyatan dibandingkan dengan narasi politiknya dalam pertunjukan ini.
“Saya tampilkan edukasi sejarah lewat kisah cinta Ken Arok dan Ken Dedes yang dibalut kesenian rakyat. Jadi tidak ada narasi negatif, seperti adegan pembunuhan misalnya,” ungkap Prof Robby.
Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Suwarjana menambahkan, pertunjukan ini memang sengaja ditampilkan dengan konsep yang unik dan digelar di Gedung Kesenian Gajayana, sebuah gedung yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Kota Malang.
“Semoga acara ini dapat mewujudkan sebagai media pembelajaran kreatif bagi masyarakat,” tandas Suwarjana.
Festival Singhasari 2 ini merupakan kelanjutan dari festival pertama yang dihelat di Taman Krida Budaya Jawa Timur (TKBJ) Kota Malang, tepat setahun sebelumnya. Festival Singhasari 1 ini menampilkan 10 diorama drama yang menunjukkan jejak sejarah di era Kerajaan Singhasari.
Salah satu pegiat budaya Malang, Ki Demang, sangat mengapreasiasi setinggi-tingginya gelaran dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang yang kedua ini. Ia mengatakan tidak mudah menata, mengkolaborasi ratusan talent dalam satu pertunjukan seni dengan durasi yang relatif singkat. Meski demikian ia melihat masih ada beberapa kekurangan salah satunya alur cerita yang cenderung menjadi anti klimaks.
“Sebagai tampilan yang menyajikan seni pertunjukan bagi para pelajar sekolah sangat bagus, namun pesan yang dibawakan lewat narasi verbal menurut saya kok masih belum tersampaikan secara jelas kepada para hadirin,” ungkap pria pemilik nama Isa Wahyudi ini.
Penggagas Kampung Budaya Polowijen yang terlibat langsung dalam Festival Singhasari I sebelumnya itu juga menilai akan lebih baik ada rangkaian acara lainnya untuk sebuah event bertajuk festival, seperti event pertama yang menampilkan bukan hanya diorama, namun ada pertunjukan dan workshop.
“Terlepas dari semua itu saya tetap mengapresiasi acara ini sebagai salah satu upaya menjunjung tinggi sejarah dan seni budaya di kalangan generasi muda,” tandasnya. [mut.fen]