Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD ) Universitas Slamet Riyadi ( UNISRI ) Solo yang meminati penulisan di media massa
Melonjaknya harga komoditas kelapa dengan berimbas kenaikan harga tak pelak menjadi isu sentral sekaligus katarsis negeri dalam perjuangan edukasi. Semua pihak memahfumi bahwa Momentum naiknya harga kelapa menjadi luar biasa mengingat agenda tahunan untuk kelapa belum pernah terjadi sebelumnya dan semua pihak terasa tidak berdaya menghadapinya.
Imbas kenaikan harga kelapa dengan tingginya tingkat inflasi menyadarkan betapa dahsyat dampak kelapa tidak segurih biasanya namun menyengat semua kalangan. Perubahan iklim secara drastis, momen menjelang hari keagaamaan senantiasa dianggap menjadi pembenaran manakala pihak pengambil kebijakan tidak mampu menahan laju kenaikan harga barang.
Dampak sosiologis pun tak pelak muncul berkaitan keberadaan produsesn santan ini menyadarkan betapa komoditas yang dulu dianggap sebelah mata sekarang ibarat intan permata.
Karaktersitik harga kelapa ini kian menyengat mengingat saat ini ekonomi bernuansa efisiensi dikedepankan sementara harga tak kunjung mengalami penurunan. Terdampaknya semua komponen negeri karena efisiensi termasuk didalamnya sisi Pendidikan memaksa produsen meninjau ulang agar terus bertahan. Menyibak fenomena sikelapa ini nampaknya dunia pendidikan dapat memetik hikmah tersirat yakni menjadikan momentum ini sebagai wahana reformasi pendidikan yang lebih aktual. Pendidikan selama ini dianggap terlalu steril dengan ranah publik dan menisbikan realitas di masyarakat. Kritikan dunia pendidikan kita yang tak ubahnya hidup dalam menara gading mutlak menjadi renungan dan sudah saatnya ditata ulang.
Tanpa disadari fenomena kenaikan harga akibat kelapa manakala ditelaah lebih mendalam merusak tatanan pembelajaran. Jika kita telaah lebih mendalam kondisi pembelajaran kita saat ini sangat menisbikan realitas kekinian, bayangkan saja anak-anak kita sampai saat ini masih dijejali pembelajaran usang. Pembelajaran yang selayaknya lebih cerdas meyikapi berbagai fenomena tidak dapat ditemui dalam pola pembelajaran kita.
Kegiatan pembelajaran menjadi kehilangan ruh pencerdasan dikarenakan anak tidak diajak untuk menelaah lebih mendalam aspek keilmuan dengan kondisi riil dilapangan. Ilustrasinya dalam pembelajaran geografi, berkaitan pembelajaran materi iklim sampai saat ini kita masih melihat penyampaian materi musim di Indonesia hanya ada 2 yakni penghujan bulan Oktober – April dan kemarau bulan April – Oktober. Padahal yang dilihat anak saat ini pola iklim kita sudah berubah sedemikian rupa dengan berbagai dampak. Fenomena ini manakala tidak secepatnya diadaptasi pada akhirnya hanyalah akan menurunkan kecerdasan anak semata dan menciptakan generasi penghafal materi bukan pemecah masalah.
Fenomena diatas memunculkan beragam keprihatinan dan pertanyaan pokok didalamnya. Pertanyaan pokoknya ialah bagaimanakah selayaknya kegiatan pembelajaran menyikapi realitas lapangan dalam konteks kekinian. Sejauh manakah kesiapan elemen pendukung pembelajaran untuk mereformasi diri menjadi pertanyaan utama selanjutnya dan menuntut untuk dilakukan pengkajian ulang dengan tujuan menghindari kejumudan pendidikan.
Reformasi pembelajaran
Tuntutan reformasi pembelajaran hingga saat ini masih dianggap sumir semata mengingat tataran koseptualnya hanya berhenti pada wacana. Kegiatan pembelajaran tidak ubahnya sebuah penyajian semu tentang kehidupan disebabkan terjebak pada pola pikir sempit berbalut idealisme usang. Pembelajaran menuai kritik tajam dikarenakan peserta didik dianggap tidak menelaah secara kritis fenomena yang terjadi dilapangan namun hanyalah berpijak pada romantisme semu masa lalu. Kejumudan materi pembelajaranpun tak pelak terjadi sehingga pembelajaran kita kehilangan ruh pencerdasannya dan hanya penjejalan beragam materi pembelajaran tanpa ada arahan seberapa besar manfaat yang diperoleh anak dalam mengikuti pembelajaran tersebut.
Rumitnya pendidikan yang hanya berpijak pada permasalahan sempit ini tidak ubahnya menjadikan sekolah dianggap sebuah “pelarian” dari realitas masyarakat karena menisbikan aspek life skill. Layaklah jika Roem Tomatipipasang menyebut sekolah tidak ubahnya sebuah candu yang tidak menyelesaikan suatu permasalahan namun hanya bersifat massif semata. Meningkatnya fenomena perubahan kehidupan selayaknya diberlakukan mengingat anak hidup dalam konteks kekinian dan memiliki aspek ketidakpercayaan dikarenakan munculnya disparitas pendidikan itu sendiri. Mengikuti pendidikan tanpa ada penanaman nilai-nilai kehidupan tidak ubahnya menggiring anak untuk melakukan “perang batin” dengan dunianya. Fenomena ini mutlak terjadi mengingat derasnya informasi sedemikian rupa menyerang peserta didik kita namun ketika mereka mengikuti pembelajaran di sekolah semuanya hilang dan hanya mengedepankan aspek ideal yang sangat sulit diwujudkan.
Kenyataan inilah yang luput dari dunia pendidikan kita, korelasi dengan realitas kehidupan hingga saat ini belum dilakukan secara optimal. Pendidikan saat ini terjebak pada beragam istilah yang bersifat apologis semata akibat tidak bisa memberikan layanan yang mencerdaskan kehidupan siswa. Sangatlah menggelitik manakala dunia semakin berkembang dengan beragam permasalahan dan menuntut semua pihak cerdas untuk menghadapinya namun kita terjebak pada romantisme semu.
Paradigma Baru Guru
Reformasi tenaga pendidikan sebagai elemen yang bersingungan langsung dengan peserta didik mulai dipertanyakan dalam pengatasan kejumudan pembelajaran. Perubahan pola tenaga kependidikan ini mutlak menjadi pertanyaan tersendiri mengingat pada umumnya siswa memiliki kecenderungan untuk identifikasi dengan tenaga pendidiknya. Pernyataan ini yang nampaknya hingga saat ini belum sepenuhnya disadari pihak pendidik kita dan semakin memperpuruk keadaan dikarenakan sikap tenaga pendidik itu sendiri. Kompetensi tenaga pendidik sendiri menjadi dipertanyakan mengingat masih lemahnya kreativitas guru untuk melakukan aktivitas pembelajaran.
Pernyataan ini patutlah menjadi renungan dikarenakan selama ini guru lebih banyak ditekankan pada aspek administratif semata tanpa ada upaya untuk peningkatan profesinya. Tuntutan profesionalitas guru teramat bias karena aspek administrasi guru ini dianggap segala-galanya sementara aspek keteladanan sebagai elemen utama pembelajaran sudah ditinggalkan jauh-jauh.
Sertifikasi guru yang digaungkan semua pihak akan meningkatkan profesionalisme guru hingga saat ini belum terlihat dampaknya dalam reformasi pembelajaran. Bahkan jika tidak hati-hati sertifikasi menjadi bumerang dikarenakan masing-masing guru memiliki intrepetasi beragam berkaitan sertifikasi guru. Tidak jarang sertifikasi guru malahan memperlebar jurang antar guru itu sendiri. Guru tersertifikasi dengan guru non tersertifikasi menjadi pola baru dalam dikotomi guru.. Guru yang menyebut sebagai guru profesional terlalu overconfident dengan kemampuannya, padahal untuk kinerja belum tentu lebih baik dibandingkan guru non sertfikasi. Kastanisasi guru tak pelak terjadi ulang padahal tugas pokok profesinya sama dan kondisi ini memaksa guru untuk lebih memikirkan sisi materiil dibandingkan bagaimanakah meningkatkan kualitas pembelajarannya.
Reaktualisasi pembelajaran
Upaya untuk menjadikan pembelajaran untuk lebih humanis menjadi sebuah tuntutan yang harus segera ditealisasikan. Upaya yang dapat direalisasikan diantaranya
Pengubahan mainstream guru mutlak menjadi perhatian kunci selanjutnya, selayaknya guru sudah melakukan pendekatan andragogi bukan hanya pedagogi. Paradigma ini menekankan bahwa anak bukanlah gelas kosong namun sudah menjadi gelas isi. Dengan penekanan awal konsep ini maka perubahan pembelajaran menjadi lebih aspiratif dan tidak hanya terhenti pada pembelajaran retoris. Perubahan mainstream ini secara tidak langsung akan merubah tatanan pembelajaran namun kajian yang dilakukan anak jauh lebih konkrit dibandingkan hanya mempelajari konsepsi pembelajaran usang tanpa ada arti.
Dengan kondisi ini selayaknya esensi pembelajaran dengan nuansa kebaruan harus senantias diberlakukan oleh guru. apalah arti guru sudah bersertifikasi bila mengajar masih setengah hati. Guru miskin materi dan metode pembelajaran versus guru kaya materi dan metode pembelajaran lebih mengemuka dan mengerdilkan upaya reformasi pembelajaran. Jika eko prasetyo menyatakan orang miskin dilarang sekolah nampaknya tidak perlu berlanjut guru miskin dilarang berkembang Perubahan fokus keguruan selayaknya memecahkan dikotomi guru itu sendiri karena setiap guru hakikatnya memiliki kesamaan visi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Reaktualisasi materi pembelajaran harus senantiasa menjadi semangat untuk semua pihak dalam dunia pendidikan untuk sadar diri. Sehingga anakpun terpuaskan dalam memenuhi dahaga ilmu yang hingga saat ini tidak tercapai karena hanya menghafal semata padahal realitas di lapangan sudah jauh berbeda
Penerapan pendidikan berbasis realitas ini kehidupan mutlak menjadi hal yang harus dilakukan. Konsepsi ini mengandung penekanan bahwa selayaknya kegiatan pembelajaran memiliki konsekuensi untuk terus up to date dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Konsekuensinya pola pembelajaran harus diubah dengan muara akhir peningkatan life skill peserta didik. Telaah kritis berkaitan fenomena kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas bukanlah menjadi barang mewah namun telah berubah menjadi pembiasaan sehingga kebermaknaan pembelajaran tidak berhenti pada tataran wacana semata.
Edukasi gurihnya kelapa memberikan asa memadai dikalangan Pendidikan bahwa permasalahan penyeimbang kehidupan pangan memberikan dampak simultan jika tidak disikapi dengan penuh kearifan. Optimalisasi pembelajaran selayaknya dikedepankan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran bukan melahirkan kebijakan pendidikan baru yang lebih diskriminatif dikalangan guru itu sendiri . Gurihnya kelapa tak segurih harganya selayaknya memberikan pencerahan terlebih dalam kebaruan Pendidikan dan pengajaran.
———- *** ————-