Oleh :
Jusrihamulyono A.HM
Instruktur Pusdiklat Pengembangan SDM UMM
Beberapa waktu belakangan ini, diskursus di media sosial hingga pemberitaan sedang mencuat pada kenaikan gaji para hakim. Presiden terpilih Prabowo Subianto, dalam berbagai kesempatan, termasuk saat pengukuhan calon hakim di Mahkamah Agung (MA), telah mengumumkan rencana kenaikan gaji hakim secara signifikan. Kenaikan Gaji dan Tunjangan Hakim Berdasarkan PP No. 44 Tahun 2024 Kenaikan gaji dan tunjangan hakim ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sejak 2011 hingga April 2025, puluhan hakim telah menjadi tersangka kasus korupsi dengan nilai suap yang fantastis, mencapai miliaran rupiah. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa persoalan korupsi di lembaga peradilan adalah masalah serius yang terus berulang. Upaya pemberantasan korupsi di sektor ini memerlukan pendekatan yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada peningkatan gaji, tetapi juga pada penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal, penegakan kode etik yang tegas, serta penanaman integritas moral yang kuat pada setiap individu yang mengabdi di ranah hukum.
Salah satu contoh yang mencontreng nama baik instansi kehakiman, dimana empat hakim yang baru-baru ini per April 2025 yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus suap terkait vonis lepas perkara korupsi minyak goreng (CPO) yang melibatkan korporasi besar. Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan beberapa Hakim Tipikor Jakarta Pusat. Fakta yang kemudian tidak untuk ditutupi begitu saja, namun keadaan ini menjadi pukulan telat akan nilai moralitas karakter tertutup disaat cuan bergentayangan.
Gaji tinggi makin memperparah kepercayaan masyarakat akan keleluasaan jabatan dan kehidupan mewah. Hedonisme tentu menjadi ancaman besar bagi anak pejabat hukum bila tidak dimbangi sebuah penanaman nilai akhlak dan adab. Tidak sedikit gaya hidup hoden pada anak pejabat membuat pandangan masyarakat akan sebuah finansial yang diperoleh secara tidak benar. Anggapan ini tentunya perlu untuk dijadikan sebagai sarana supervise para pejabat hukum yang telah memperoleh fasilitas negara yang istimewa yang diimbangi dengan kinerja yang maksimal.
Membuka Mata Nurani
Wacana mengenai gaji tinggi bagi personalia pejabat hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim, selalu menarik perhatian publik. Argumentasi yang sering dilontarkan adalah bahwa gaji yang memadai, bahkan tinggi, dapat menjadi benteng pertahanan terhadap godaan korupsi. Logikanya sederhana: ketika kebutuhan finansial terpenuhi dengan baik, integritas akan lebih mudah dipertahankan. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan gambaran yang lebih kompleks dan terkadang, ironis.
Secara teoritis, gaji tinggi memang penting. Gaji kadang berfungsi sebagai instrumen untuk menarik individu-individu terbaik dan paling kompeten ke dalam sistem peradilan, serta untuk mengurangi motif ekonomi yang mendasari tindakan korupsi. Pejabat hukum yang sejahtera secara finansial diharapkan dapat fokus sepenuhnya pada tugas penegakan hukum tanpa terbebani kekhawatiran pribadi atau tergoda oleh tawaran suap. Ini adalah visi ideal yang menempatkan gaji sebagai perisai moral.
Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa gaji tinggi, bahkan yang sudah cukup signifikan, tidak selalu menjadi jaminan integritas. Sejarah kelam korupsi di institusi penegak hukum kita adalah bukti nyata bahwa faktor moral dan mentalitas seringkali lebih dominan daripada sekadar besaran penghasilan. Korupsi bukanlah semata-mata produk dari kemiskinan, melainkan kerap kali berakar dari keserakahan, kesempatan, dan lemahnya sistem pengawasan serta penegakan etik.
Namun, ada pula potensi dampak negatif. “Gaji tinggi” tanpa diimbangi dengan sistem akuntabilitas dan pengawasan yang ketat dapat memicu sikap superioritas atau arogansi. Penegak hukum mungkin merasa “kebal” atau kurang perlu untuk mematuhi aturan jika mereka merasa posisinya sangat aman dan dihargai. Dari sudut pandang psikologi kognitif, persepsi gaji tinggi bisa saja menciptakan “hak istimewa” yang, dalam beberapa kasus ekstrem, dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan atau pengurangan empati terhadap masyarakat yang mereka layani.
Integritas dari Sekadar Gaji
Kerap kali kita mendengar diskusi tentang bagaimana gaji tinggi dapat membentuk personalia yang berintegritas. Asumsinya, dengan kompensasi finansial yang memadai, seseorang akan terhindar dari godaan korupsi atau penyimpangan. Namun, apakah benar demikian? Mari kita telaah lebih dalam keterhubungan antara personalia, watak, dan integritas yang sesungguhnya.
Integritas sejati tidaklah lahir dari besaran gaji, melainkan tertanam kuat dalam watak seseorang. Ini adalah tentang karakter, nilai-nilai pribadi, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap prinsip-prinsip moral dan etika. Seseorang dengan integritas tinggi memiliki konsistensi antara perkataan dan perbuatan, tidak peduli seberapa besar tekanan atau imbalan yang ditawarkan. Mereka memegang teguh kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas sebagai pedoman hidup.
Dalam konteks personalia, terutama di institusi vital seperti penegakan hukum atau pelayanan publik, watak berintegritas tinggi menjadi pondasi utama. Bayangkan seorang pejabat yang, meskipun gajinya besar, tetap tergoda untuk menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi. Ini menunjukkan bahwa integritas tidak bisa dibeli; ia adalah pilihan fundamental yang berakar pada nilai-nilai yang diyakini. Sebaliknya, banyak individu dengan penghasilan pas-pasan yang justru gigih mempertahankan integritasnya, menunjukkan bahwa moralitas tidak berbanding lurus dengan jumlah nol di slip gaji.
Pada akhirnya, pandangan penulis untuk menyampaikan akan sebuah kepercayaan dilihat dari hasil kerja yang tuntas tanpa pertaruhan moralitas. Gaji yang primer dalam sebuah alasan bekerja tidak layak menjadi landasan bertingkah aneh memainkan integritas dinas. Penulis mengajak para penegak hukum memperbaiki kualitas pelayanan untuk mendapatkan kelayakan gaji. Marwah penegak hukum atau mujtahid qadhi tidak perlu lagi masuk pada pemberitaan suap apalagi korupsi. Sebab, bila masih ada, sebesar apapun gaji dari negara tidak akan jadi solusi melainkan bencana.
———— *** ————-