Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Terbuka, Afaqa Hudaya dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Jakarta, Bhirawa.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat deflasi Agustus 2024 sebesar 0,03 persen secara bulanan (month-to-month). Ini menjadi deflasi bulan keempat secara berturut-turut yang dialami Indonesia pada 2024 ini.
BPS mencatat bahwa deflasi telah terjadi pada Mei hingga Agustus lalu. Deflasi empat bulan berturut-turut ini bisa jadi mengindikasikan daya beli masyarakat yang melemah, khususnya kelas menengah.
“Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah karena artinya ekonomi masyarakat sedang mendapat tantangan berat,” terang Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Terbuka, Afaqa Hudaya di Jakarta belum lama ini.
Data BPS mendapati bahwa di Indonesia tahun 2024 ini deflasi yang terjadi dari bulan ke bulan tercatat pada Mei sebesar 0,03 persen, lalu Juni sebesar 0,08 persen, selanjutnya Juli sebesar 0,18 persen dan Agustus sebesar 0,03 persen.
Bahkan, data BPS menunjukkan bahwa komoditas penyumbang utama deflasi pada Agustus 2024 yakni bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.
Afaqa menjelaskan, deflasi empat bulan beruntun dari sektor konsumsi itu mengindikasikan bahwa masyarakat tengah menahan pengeluaran mereka untuk menjaga kemampuan daya beli. Kondisi ini dapat berdampak pada perlambatan ekonomi nasional.
Perlambatan ini juga diamini dengan menurunnya angka S&P Global Indonesia Manufacturing PMI (Purchasing Manager Index) dalam lima bulan terakhir. Angka PMI hanya mencapai 48,9 pada Agustus 2024.
Hal ini menggambarkan perekonomian Indonesia sedang berada pada tahap kontraksi.
Sementara itu, sebagai industri yang padat karya, turunnya angka PMI memberikan sinyal ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) khususnya di sektor manufaktur sehingga dapat meningkatkan angka pengangguran.
Persaingan usaha yang tidak sehat juga perlu diperhatikan di tengah keterbatasan daya beli saat ini. Masyarakat akan cenderung menjadi lebih “picky” dalam mengonsumsi suatu produk, sedangkan perusahaan akan berusaha melakukan berbagai cara agar produknya terjual.
Persaingan usaha yang tidak sehat cenderung akan memperkeruh industri nasional yang sedang berjuang di tengah kondisi perekonomian saat ini. Korban akan dirugikan dengan merosotnya penjualan dan berakhir pada efisiensi biaya perusahaan melalui pemutusan hubungan kerja.
“Kondisi ini bisa berdampak pada ekonomi rumah tangga dan meningkatnya krisis sosial di tengah masyarakat. Pada akhirnya akan berdampak juga ke pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Data dari BPS menyebutkan terjadi penurunan signifikan pada kelas menengah dari total 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang sampai dengan saat ini. Banyak masyarakat yang berada di kelas menengah berada dalam posisi rentan turun kelas jika terjadi guncangan ekonomi.
Pada sisi kebijakan moneter, suku bunga Bank Indonesia sepanjang tahun ini belum pernah berada di bawah 6 persen. Pada Agustus 2024 tercatat suku bunga Bank Indonesia masih berada di angka 6,25 persen. Bank Indonesia sudah berhasil memperkuat nilai tukar IDR terhadap USD pada awal September 2024 berada pada posisi seperti pembukaan tahun Januari 2024.
Oleh sebab itu, mengingat sinyal perekonomian yang lesu, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengambil langkah kebijakan penurunan suku bunga sebesar 25-50 basis poin. Kebijakan penurunan suku bunga akan menstimulasi sektor riil melalui investasi dan belanja rumah tangga.
Dengan penurunan suku bunga diharapkan perekonomian nasional akan kembali menggeliat.
“Diperlukan dukungan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan agar ekonomi ini tidak terpuruk,” katanya.
Sebelumnya, bahasan terkait persaingan usaha tidak sehat juga sempat disinggung Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta, M. Muslich KS. Dia mengungkapkan saat ini persaingan usaha tidak sehat itu dilakukan dengan menunggangi isu boikot yang saat ini menjadi gerakan massal.
Dia memina masyarakat untuk berhati-hati dan tidak asal ikutan dalam mengikuti seruan boikot tersebut. Sebab, sambung dia, boikot dapat menjadi bumerang bagi Indonesia jika tidak dilakukan secara seksama dan terukur.
“Dalam konteks isu [boikot] jangan ada korban kalau bisa. Tapi strategi boikot itu kita pola sedemikian rupa sehingga menjadikan isu itu tidak menjadi sesuatu bumerang bagi kita,” kata Muslich dalam sebuah diskusi. [riq.ira.hel]