Surabaya, Bhirawa
Fenomenal curhat dengan Artificial Intelligence (AI) dosen Program Pendidikan Profesi Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) menanggapi ChatGPT dapat menjadi alat pendukung bukan pengganti psikolog.
Kemajuan era digital membuat manusia memanfaatkan teknologi dengan berbagai cara, seperti mengunakan AI sebagai sarana mencurahkan isi hati, salah satunya seperti ChatGPT ialah medium pendukung dan bukan pengganti tenaga profesional kesehatan mental seperti psikolog.
Dosen Program Pendidikan Profesi Psikologi Ubaya, Afinnisa Rasyida, M.Psi., Psikolog, Menjelaskan bahwa masyarakat perlu di soslialisasikan tentang pengunaan AI sebagai media support untuk berdiskusi bukan untuk menggatikan peran psikolog.
“Masyarakat perlu memahami kapan bisa menggunakan ChatGPT sebagai support, seperti contoh membantu manajemen stres ringan, kondisi overthinking, butuh diskusi dan refleksi diri, dan bukan mengganti layanan profesional, khususnya pada sudah mengganggu keberfungsian individu seperti depresi berat atau risiko bunuh diri,” jelasnya, Senin, (19/5).
Lanjut Afinnisa mengatakan dengan maraknya peristiwa pengguna mendapatkan dukungan emosional yang mudah, murah, dan bebas konsekuensi sosial, sehingga ChatGPT dipilih sebagai alternatif yang paling terjangkau.
“Fenomenal ini mucul sebab pengguna yang ingin mendapat dukungan emosional dengan akses yang mudah, murah, dan bebas konsekuensi sosial. teori Help-Seeking Behavior pada bidang Psikologi, dimana manusia yang mencari bantuan sangat dipengaruhi oleh faktor personal, sosial, dan struktural, seperti rasa takut mendapat stigma, keberatan dengan harga dan lokasi, serta keterbatasan tersedianya psikolog terdekat, menjadikan AI sebagai alternatif paling terjangkau,” tutur Afinnisa.
Afinnisa menyampikan ChatGPT juga ada risiko kesalahan dalam memahami pertanyaan atau jawaban sehingga hanya memberikan ketenangan yang bersifat sementara. “ChatGPT tidak mampu memahami kondisi krisis kita secara mendalam, karena Analisa bersifat umum, dan tidak bisa memberikan penilaian juga intervensi yang tepat. masyarakat harus ingat bahwa AI tidak dapat menggantikan intervensi klinis untuk kasus berat.” ucapnya.
Afinnisa menambahkan ada alternatif yang lain untuk mengekspresikan emosi dan menjaga kesehatan mental, seperti menulis untuk mencatat pola emosi dan pemicu stres. “Altenatif yang bagus kita bisa menulis jurnal, dimana ekspresi emosi dilakukan dengan Journaling secara terstruktur mencatat pola emosi dan pemicu stres, atau layanan psikolog juga merambah ke layanan online, bisa berbasis teks maupun layanan video call atau video conference, serta bisa bergabung dalam komunitas support group sesuai dengan kondisi permasalahan kita,” imbuh Afinnisa. [ren.wwn]