30.3 C
Sidoarjo
Friday, July 11, 2025
spot_img

Bencana di Mata Penyair

Bencana di Mata Penyair

Judul Buku : Negeri Bencana
Penulis : 100 Penyair Indonesia
Penerbit : Egypt van Andalas, Padang Panjang
Cetakan : I, November 2024
Tebal : 150 halaman
QRCBN : 62-1320-6814-510
Peresensi : Ahmad Fatoni
Penyair dan pengajar Fakultas Agama Islam UMM

tak ada nyala lampu atau kerlip lilin,
gemuruh reruntuhan batu menuruni tubuh gunung,
abu vulkanik menyelimuti negeri itu (hal.3).

Begitu antara lain ratapan Adri Sandra, satu dari 100 penyair yang mengirimkan puisinya kepada Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang untuk disertakan dalam Kumpulan Puisi “Negeri Bencana”. Melalui kerja sama dengan Majalah Digital elipsis, penerbitan buku ini didorong rasa keprihatinan melihat banyaknya bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Bencana itu telah merenggut nyawa dan merusak fasilitas umum maupun rumah-rumah warga, termasuk lahan pertanian, dan ternak. Tidak sedikit orang tua kehilangan anak, anak kehilangan orang tua, termasuk kehilangan harta benda. Ujian yang menimpa penduduk Indonesia tersebut senayatanya menjadi renungan, pelajaran sekaligus gagasan bagi penyair untuk melahirkan karya sastra dalam bentuk puisi sebagai ingatan kolektif yang di kemudian hari dikenang oleh generasi mendatang.

Selain karena faktor alam yang tak dapat dielak, eksploitasi lingkungan sebagai penyebab bancana tidak luput dari sorotan para penyair. Saluran pembuangan air kian menyempit, sungai-sungai tercemar limbah, debit air terus menurun, air bersih makin sulit didapat, penebangan hutan secara liar, merupakan fakta telanjang akibat ulah pembangunan yang tak terkendali. Petakanya, dampak pengrusakan cagar alam yang sedemikian rupa, itu kerap menjadikan rakyat kecil sebagai tumbal.

Berita Terkait :  Kita Semua Pernah Berdosa

Petakanya, rakyat kecil selalu tak berdaya bila harus berhadapan dengan persekongkolan penguasa-pengusaha. Hal ini bisa kita baca dari ratapan lirih Ahmad Fatoni dalam puisi “Kota Tragedi”: sayup-sayup sejarah kota tampak lunglai/ sekaratul maut pun dimulai/ di sini aku dipaksa diam/ menekan sukma dalam-dalam/ namun derita itu kian menganga/ dan segera menyeretku ke alam baka. (hal.8).

Menurut Riri Satria (Jakarta), Sulaiman Juned (Padang Panjang), dan Muhammad Subhan Padang Panjang), selaku dewan kurator penerbitan buku ini, substansi kumpulan puisi “Negeri Bencana” lahir sebagai salah satu jihad kesadaran untuk menjaga keseimbangan alam serta menguatkan keprihatinan terhadap isu lingkungan (hal.vi).

Satu contoh keprihatinan tampak jelas dalam puisi “Tanah Luka” karya Andi Jamaluddin: sejengkal tanah leluhur, meluka/ tenggelam erat. bumi pertiwi/ basah merendam perih jelata/ dari luka lama/ kembali ke semula. (“Tanah Luka”, hal.12) Keprihatinan puisi ini juga diratapi Soeryadarma Isman dalam “Gunung Mengikat Cinta”: aroma duka mengurung pikir/ lenguh luka melengking sampai ke langit. (hal.114)

Dalam konteks kebijakan pembangunan yang salah arah, para penyair dalam buku ini masih berharap banyak bahwa karya sastra dalam bentuk puisi dapat dijadikan saranan untuk mencorongkan kritik kepada siapa pun pemangku kebijakan negeri ini yang pura-pura tuli dan buta mata hatinya. Dalam kumpulan puisi ini terasa betul perjuangan setiap penulisnya untuk melegitimasi diri sebagai “penyair” yang tak sekadar bermain kata-kata sembari duduk di istana retorika.

Berita Terkait :  Sebanyak 90 SD dan SMP se-Surabaya Bertanding di EF Spelling Bee Regional Competition

Seorang penyair senyatanya memang mengajak pembaca, selain demi menikmati pesona kata-kata, juga untuk melihat hingga ke ceruk terdalam kehidupan, dan dari sana pembaca dapat belajar ihwal kehidupan itu sendiri. Dalam puisi banyak sekali kandungan kata-kata mutiara, intisari kebijakan, isyarat-isyarat kemuliaan, yang bisa menjadi inspirasi, bahkan sumber motivasi yang menguatkan seseorang dalam menimba hikmah kehidupan.

Puisi tak sepantasnya bila hanya untuk nyanyian yang lahir dari kepedihan jiwa atau senyuman bibir belaka, demikian kata Kahlil Gibran. Itu sebabnya, melalui untaian puisi, getir seorang penyair bukan lagi menjadi kegundahan personal. Pembaca turut pula merasakan denyut batin sang penyair ketika harus melihat sekaratnya nilai-nilai kemanusiaan akibat perilaku culas para pengkhianat negeri.

Kemampuan penyair dalam menelanjangi paradoks, lalu mengubahnya menjadi senjata perlawanan itu disebut antropolog James Scott sebagai weapon of the weak (senjata kaum marginal). Dalam buku ini dapat kita simak, misalnya, dalam kutipan puisi Umar Tadjuddin yang bertajuk “Duka Merakyat”: para pembajak, merampok dengan suka ria/ menggunduli hutan-hutan dengan merajarela/ memakan dengan lahapnya/ tak peduli akan rintihan apa yang terjadi. (hal.29).

Sangat boleh jadi, perlawanan seorang penyair hanyalah utopia yang sedang mencoba mencorongkan mata batinnya untuk masa depan. Kegetiran hidup yang dialami orang-orang lemah telah memberikan hutan imajinasi tersendiri bagi para penggiat kesusastraan. Setidaknya, menipisnya rasa empati yang berwujud dalam pelbagai bentuk penindasan memudahkan penyair untuk mengawinkan kata-kata dengan kekuatan imaji yang luar biasa tajam dan dahsyat.

Berita Terkait :  Melawan Melalui Teks

Tak pelak, dunia kepenyairan telah menyihir setiap penyairnya untuk mengintimi segala kegetiran di atas padang imajinasi. Hanya, tidak setiap imaji yang ia tangkap bisa diungkap dalam kata-kata. Tentu, seorang penyair akan berperang menolak imaji-imaji itu bila kehadirannya hanya menjelma perawan mandul yang tak sanggup membiakkan keadilan di muka bumi.

Akhir kata, 100 judul puisi yang ditulis berbagai kalangan maupun usia, ini diharapkan memiliki daya gedor untuk menohok segala pihak akan pentingnya mempertahankan kelestarian lingkungan di tengah hiruk pikuk pembangunan yang sering kali tidak memberi hubungan setimpal pada alam dan kemanusiaan.

———- *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru