30.2 C
Sidoarjo
Tuesday, June 24, 2025
spot_img

Bangkit Ber-kolaborasi

Pada masa ke-tidak pasti-an ekonomi global, visi Boedi Oetomo, patut digelorakan sesama anak bangsa. Terutama memperkuat “kolaborasi” sebagai ikatan kebangsaan yang plural (bhinneka tunggal ika). Bangga menjadi bangsa Indonesia yang memiliki keragaman suku bangsa, dan bahasa. Pergerakan Boedi Oetomo sesungguhnya aktifitas politik tingkat tinggi, namun tidak pragmatis. Sehingga mampu menarik kalangan “mapan” (priyayi, bangsawan Jawa), dan intelektual memajukan bangsa yang tertindas bangsa asing.

Terjadi perbedaan keadaan, antara realita ekonomi, dengan pernyataan nasional (sejak periode kedua Presiden Jokowi). Konon Indonesia masuk kategori negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle income country). Dengan standar pengeluaran sebesar US$ 6,85 per-hari. Walau sulit ditemukan, kecuali pekerja setingkat manajer. Realitanya, menurut Bank Dunia, Indonesia tergolong miskin. Karena masih banyak memiliki orang miskin.

Jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 60.3% (sekitar 171,8 juta jiwa). Patut tersentak, karena menurut data BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya sebesar 8,57%, meliputi 24,06 juta jiwa. Ironis pula, standar garis kemiskinan Indonesia per-September 2024, sebesar US$ 595.242 per-kapita per-bulan. Sekitar Rp19.841,- per-hari. Maka visi Boedi Oetomo, meningkatkan kesejahteraan rakyat, patut di-gelora-kan. Sudah merdeka, tetapi pemerataan kesejahteraan belum terwujud.

Pemerintah berkewajiban mem-fasilitasi pemerataan hasil kemerdekaan (dan pembangunan). Karena Boedi Oetomo, didirikan bukan sekadar menggali rasa nasionalisme. Karena sejak 200 tahun sebelumnya, rasa nasionalisme selalu berkobar, secara terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi. Digelorakan di surau-surau, dan masjid, sekaligus di-transformasi-kan sebagai kurikulum kalangan pengajaran pribumi. Namun nasionalisme (kebangsaan) seolah-olah kelelap penjajahan total.

Berita Terkait :  Wujudkan Sinergitas, Pemkot Madiun dan TNI Gelar Silaturahmi

Spirit nasionalisme bisa (nyaris) punah manakala rakyat hidup dalam tekanan, kebodohan dan kemiskinan. Maka Hari pembentukan Boedi Oetomo (20 Mei) diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Selalu dilakukan seremonial kenegaraan. sebanyak 80 kali sejak kemerdekaan RI. Menjadi saat tepat me-reorientasi makna kebangkitan nasional, karena banyak elit (pusat dan daerah) terjebak politik pragmatis. Partisan pula. Hanya berebut sengit kekuasaan pemerintahan.

Begitu pula bersaing rebutan kekuasaan melalui pemilu (dan pilkada) sering melupakan asas ke-gotongroyong-an pesaudaraan sesama bangsa. Menyebabkan keterbelahan sosial secara diametral. Ironisnya, suasana perpecahan bagai “dipelihara.” Terbukti, beberapa tokoh masih terlibat posting penistaan, dan ujaran kebencian di media sosial (medsos). Rebutan kekuasaan, biasa berujung pada nafsu kapitalisasi kekayaan negara. Niscaya menyuburkan mens-rea (niat korupsi).

Maka wajar, saat ini semakin banyak pejabat negara korup. Sedangkan perilaku ke-negarawan-an nyaris punah. Politik pragmatis (dan partisan) bertentangan dengan visi Boedi Oetomo. Seperti ditulis RM Suwardi Suryaningrat (bagian public relations), “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu). Bisa disebut dengan satu kata kunci: “kolaborasi.” Visi politik kebangsaan Boedi Oetomo di-propaganda-kan oleh Suwardi Suryaningrat, dan diadopsi ke dalam konstitusi Negara Kesaatuan RI (NKRI). Antara lain, pembukaan UUD alenia pertama, dan alenia ke-empat.

Selaras dengan pilhan tema Peringatan ke-117 Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2025. “Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat.” Menjadi seruan moral untuk ber-kolaborsasi. Bangkit bersama, tidak boleh ada rakyat yang ditinggalkan di belakang. Pemerintah patut mempedulikan nasib kalangan “tertinggal.” Sesuai arahan konstitusi. Bahwa seluruh rakyat Indonesia, adalah keluarga. Sehingga UUD pada pasal 33 ayat (1), menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Berita Terkait :  Awasi Beras dan Cabai

Bahkan yang lemah harus ditopang negara. Konstitusi pada pasal 34 ayat (2), meng-amanat-kan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

——— 000 ———

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru