Bulan Rajab pada kalender Hijriyah memasuki sepertiga akhir. Namun suasana sosial masih dikepung bencana hidrometeorologi, banjir dan longsor. Di berbagai daerah juga ditambah suasana ke-ekonomi-an rada suram. Harga pangan merambat naik, serta wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Tetapi bersyukur adat budaya Nusantara (Indonesia) memiliki budaya perayaan (sekaligus pemuliaan) bulan Rajab. Terdapat puasa puasa Rajab, menghemat pengeluaran rumah tangga.
Pada bulan Rajab, masyarakat seantero Indonesia memiliki adat budaya menyemarakkan Rajab, dengan berbagai ke-guyub-an sosial. Serta istighotsah, doa bersama, menglipur penderitaan. Sekaligus menjadi ekonomi kreatif tingkat lokal, tetapi sangat masif. Terasa strategis sebagai media mem-bersatu-kan masyarakat, setelah diombang-ambing isu politik. Menyatukan kembali masyarakat yang terbelah karena Pilkada.
Perayaan bulan Rajab berbalut adat budaya. Misalnya, Nyadran, yang dilaksanakan warga kecamatan Gunungpati, Semarang. Berbagai atraksi adat budaya ditampilkan kembali, bisa membangkitkan ekonomi kreatif. Di berbagai keraton Jawa terdapat budaya Nyadran, dan Rajaban. Ada Rejeban Peksi Buraq di Yogyakarta. Ada Nganggung di Bangka Belitung. Serta di Lombok (Nusa Tenggara Barat) ada Ngurisan. Pesta budaya rakyat mulai digelar. Berbagai komunitas sosial bergerak melalui aktifitas keagamaan, dengan berbagai jamuan pesta rakyat.
Di seantero Jawa, tak jarang, perayaan adat budaya Rajabiyah, juga melibatkan umat lintas iman. Serta tanpa bendera parpol. Bulan Rajab menandai bulan ketujuh dalam kalender Islam (Hijriyah). Menjadi salahsatu diantara 4 bulan yang dimuliakan dalam ajaran Islam. Periode bulan lain yang dimuliakan, adalah Zulkaidah. Tradisi Jawa disebut wulan Sela, masyarakat Sunda menyebut bulan Hapit. Juga terdapat bulan Zulhijjah (bulan ke-12 dalam kalender Hijriyah, waktu pelaksanaan Haji), dan bulan bulan Muharram (bulan pertama, awal tahun baru Islam).
Dalam bulan Rajab terdapat peristiwa Isra’ mi’raj. Yakni perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari sisi Ka’bah (Makkah) menuju masjid Al-Aqsha (di Yerussalam, petilasan Nabi Musa a.s., dan Nabi Isa a.s.). Dilanjutkan perjalanan Mi’raj Nabi Muhammad SAW ke langit tujuh hingga Sidratil Muntaha. Suatu tempat penghujung langit ketujuh, ditandai dengan sebuah pohon Bidara besar (pada keyakinan lain disebut “pohon kehidupan”). Sebagai batas akhir yang tidak bisa dilampaui seluruh makhluk).
Peristiwa Isra’ Mi’raj, terjadi pada malam tanggal 27 Rajab, sekaligus menjadi uji ambang batas keimanan, dan kesaksian kebenaran Nabi Muhammad SAW. Jarak dari Makkah ke Yerussalem, pada masa lalu biasa ditempuh dengan perjalanan onta selama sebulan. Tetapi kanjeng Nabi Muhammad SAW bisa menempuhnya dalam satu malam. Tidak sedikit umat Islam pada periode pertama (para sahabat), awalnya meragukan kebenaran Isra’ Mi’raj.
Namun setelah diperkuat dengan cerita (kesaksian) Kanjeng Nabi SAW tentang 3 kafilah (rombongan), masyarakat baru percaya adanya mukjizat dalam Isra’ Mi’raj. Nabi Muhammad SAW kenal dekat dengan anggota rombongan yang kehilangan onta. Bahkan Nabi Muhammad SAW juga turut minum dari wadah air besar yang dimiliki anggota kafilah kedua. Cerita pertemuan Nabi SAW dengan tiga rombongan, seluruhnya benar. Termasuk berbagai detil warna jubah, dan pembungkus barang. Meyakinkan kebenaran perjalanan yang maha ajaib.
Isra’ Mi’raj, bukan fiktif. Pada intinya adalah pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan Ilahi sang Maha Pencipta. Khusus menerima perintah shalat lima waktu. Di berbagai daerah di Indonesia, terdapat rangkaian gerakan dakwah dengan waktu paling panjang (lebih dari sebulan). Terutama perayaan dengan mendirikan panggung pengajian Isra’ Mi’raj, Adat Rajabiyah, secara khusus dirayakan sebagai ibadah, dengan doa khusus agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan.
——— 000 ———