Pemerintah berkali-kali menyatakan bakal stop impor gula, garam, jagung, dan beras! Ke-empatnya merupakan komoditas bahan pangan utama, sehari-hari, yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia. Sehingga hanya tersisa daging sapi, dan susu, masih boleh impor. Setidaknya selama satu dekade, ketersediaan bahan pangan yang “di-stop” impor, mengalami pola perdagangan yang aneh. Kementerian Pertanian, selal menyatakan hasil panen padi surplus. Tetapi realitanya selalu impor beras.
Pemerintah bagai tidak memiliki data hasil kepertanian. Bahkan tahun 2024 menjadi yang terbanyak selama 5 tahun terakhir. Impor beras sampai mencapai 5 juta ton. Begitu pual data gula, memiliki data importasi yang aneh. Mengutip paparan Plt Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas), kebutuhan gula konsumsi nasional mencapai 2,933 juta ton per-tahun.
Pada data lain, berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), sepanjang tahun 2024 (Januari-September) tercatat Indonesia total mengimpor gula sebanyak 3,66 juta ton. Impor senilai senilai US$2,15 miliar (setara Rp33,61 triliun) terdiri dari gula konsumsi dan gula industri. Impor gula terus naik. Berdasar laporan Kementerian Pertanian memperkirakan kebutuhan gula naik sampai 7,5 juta ton pada 2024-2027.
Berdasar catatan BPS pula, kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan gula, mencapai 63%. Perhitungannya, pada tahun 2023, kebutuhan gula nasional berkisar 6,08 juta ton per-tahun. Sedangkan kemampuan produksi gula nasional hanya sebatas 2,27 juta ton per-tahun. Penyebabnya, tak lain, problem on-farm, di kebun. Yakni, luasan lahan tebu nasional jumlahnya 0,2 juta hektar. Tergolong sangat kecil dibanding Brasil (10 juta hektar), dan India (4,5 juta hektar).
Selain luas areal tanam, rendemen tebu Indonesia rata-rata masih di bawah angka 9. Menyebabkan produkifitas rendah. Hanya menghasilkan gula sebanyak 60 ton per-hektar. Jauh tertinggal dibanding Brasil yang mampu memproduksi gula 80 ton per-hektar, India 100 ton per-hektar. Serta Thailand 82 ton per-hektar. Maka tekad stop impor gula pada tahun 2025, bisa jadi hanya terbatas pada gula konsumsi. Dengan konsekuensi menambah areal tanam. Serta memulai meningkatkan rendemen sampai 11, dengan tebu bibit unggul.
Stop impor sembako yang lain, garam, juga masih perlu peningkatan produksi. Terutama melalui program mekanisasi alat. Serta wajib “borong habis” produk lokal negeri. Walau kadar salinitas (ke-asin-an) belum cukup memadai, rata-rata masih di bawah 94. Hasil panen garam nasional hanya sebanyak 2,5 juta ton. Terutama dari tambak areal garam rakyat, meliputi 88% (sebanyak 2,2 juta ton). Sisanya yang 300 ribu ton dihasilkan industri BUMN, dan swasta.
Kebutuhan nasional garam sebanyak 4,9 juta ton untuk kebutuhan konsumsi, dan industri. Sehingga terdapat kekurangan sekitar 2,4 juta ton. Tetapi garam rakyat memiliki problematika pelik. Yakni, salinitas rendah, rata-rata di bawah 94. Kurang asin. Karena kadar NaCl rendah, maka harganya juga sangat rendah. Juga tidak memenuhi standar garam industri. Garam rakyat masih perlu proses kristalisasi lanjutan.
Serasa “percaya tak percaya,” pemerintah (melalui Menko Pangan) bertekad menghentikan impor beras, gula, garam, dan jagung. Walau bukan tekad yang muluk-muluk, tetapi tahun 2024, menjadi catatan impor pangan yang semakin deras! Pemerintah memiliki mandatory UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, Pemerintah berkewajiban mewujudkan kecukupan pangan pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.
Namun tiada undang-undang yang melarang pemerintah impor bahan pangan. Tata hubungan internasional, juga memerlukan impor (dan ekspor) sebagai alat bargaining, persahabatan yang saling menguntungkan. Menggerakkan ekonomi dunia.
——— 000 ———