Jombang, Bhirawa
Bathsul Masail nasional di Pesantren Tebuireng Jombang dalam rangka Haul Gus Dur ke-15 telah selesai dilaksanakan. Para pakar dalam bidang bahtsul masail membahas dua tema besar, yakni bullying dan stunting serta memberikan sejumlah rekomendasi.
Agenda yang digelar dengan dua majelis yakni pada malam Jum’at pukul 20.00-23.30 WIB dan Jum’at pukul 08.00-11.00 WIB (19-20/12/2024) kemarin membuahkan keputusan.
Pada konferensi pers di Aula lantai 3 gedung Yusuf Hasyim, Pesantren Tebuireng Jombang, Minggu petang (22/12) disampaikan, agenda bathsul masail dihadiri oleh 47 delegasi. Dengan rincian, 40 delegasi dari Jawa Timur, 6 delegasi dari Jawa Tengah, dan 1 delegasi dari Jawa Barat.
Musyawarah yang diikuti oleh sekitar 90 peserta itu menghasilkan beberapa rumusan dengan berasas pada kitab ulama klasik (turats). Mereka membawa kajian para ulama itu untuk menanggapi dua isu utama ‘bullying’ dan ‘stunting’.
Konferensi pers dibuka oleh Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin.
Dalam konferensi pers ini, Gus Kikin menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan haul Gus Dur.
“Ada beberapa kegiatan bahtsul masail, bedah majalah, Ishari. Rangkaian itu dimaksudkan untuk mengenang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” kata Gus Kikin.
Mudir Ma’had Aly Hasyim As’ary Pesantren Tebuireng, KH Achmad Roziqi memaparkan beberapa hasil keputusan bahtsul masail. Bahwa tindakan menormalisasi perundungan yang terjadi pada santri tidak dibenarkan dengan pertimbangan berikut:
Pertama, perundungan atau ‘bullying’ adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan. Baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.
Kedua, menurut pandangan syariat, perundungan adalah tindakan merendahkan, meremehkan, dan mengolok-olok akan kekurangan yang dimiliki oleh korban.
Ketiga, perundungan secara verbal dihukumi haram apabila korban merasa tersakiti. Jika tidak, seperti halnya orang yang sengaja menampakkan kekurangannya untuk bahan tertawaan, maka hal tersebut merupakan bagian dari bercandaan yang diperbolehkan.
Keempat, pengurus pesantren berkewajiban melaksanakan amanah berupa memberikan pendidikan dan menjaga keamanan santri.
Kelima, pengurus pesantren berkewajiban melarang dan mencegah terjadinya perundungan serta memberikan edukasi akan bahaya perundungan, dan ketujuh, menormalisasi adalah sikap pembiaran dan pembiasaan.
Lalu, jika perundungan berakibat kematian, diputuskan bahwa dalam pandangan syariat, tanggung jawab atas tindakan yang menyebabkan kematian (qishash dan diyat) ditimpakan kepada pelaku (mubasyir).
Oleh karenanya, pengurus tidak memiliki tanggung jawab secara syariat. Adapun terkait hukum positif, maka wajib mengikuti aturan yang berlaku.
Sehingga Pesantren Tebuireng memberikan rekomendasi untuk mendorong pesantren-pesantren untuk mensosialisasikan bahaya perundungan, dan mendorong pesantren-pesantren untuk menerapkan sistem pendidikan ramah santri.
Kemudian terkait stunting, Penasihat Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur ini juga membacakan putusan bahwa, hukum pernikahan dini dalam pandangan syariat dihukumi sah karena mempertimbangkan bahwa syariat Islam tidak memberikan batasan usia pernikahan dan pernikahan dini bukan faktor utama terjadinya stunting.
Dan juga merekomendasikan untuk mendorong calon pasutri untuk memperhatikan hal-hal terkait kesehatan anak, mendorong calon pasutri untuk mengikuti arahan pemerintah terkait pernikahan demi mencapai maslahat, dan mendorong calon pasutri untuk mengikuti program pemerintah mengenai pencegahan stunting.
Mengenai bagaimana rencana Pesantren Tebuireng ke depan agar hasil Bahtsul Masail dapat dimasifkan, KH Musta’in Syafi’i selaku Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng Jombang mengatakan, pada hasil putusan, memberikan kolom rekomendasi.
“Tentu rekomendasi ini dapat diusulkan ke pemerintah sebagai pertimbangan pembuatan kebijakan selanjutnya. Agar kemaslahatan yang dimunculkan itu tidak hitam putih,” tutur KH Musta’in Syafi’i.
Kiai Musta’in menegaskan bahwa tugas pesantren di sini menyampaikan kepada pemerintah agar bisa lebih definitif dalam membuat peraturan, misalnya pernikahan, sehingga dapat menciptakan keluarga yang maslahat.
Selain itu, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, Gus Kikin juga menambahkan agar masyarakat dapat meneladani Gus Dur.
“Kepada masyarakat agar di momen Haul Gus Dur ini dapat menciptakan persatuan. Sebagaimana jejak yang ditinggalkan Gus Dur,” pungkas Gus Kikin. [rif]