Oleh:
Frida Kusumastuti
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang
Ruang digital seperti sosial media berisikan audiens yang sangat beragam, sangat besar, dan terfragmentasi, sehingga apapun pesan yang dibagikan di sosial media akan diintepretasi oleh netizen yang sangat heterogen tersebut. Seringkali interpretasi netizen keluar dari nuansa asli pesan yang dibagikan itu. Bahkan sebuah pesan dengan mudah akhirnya menjadi kontroversi dan mendapatkan reaksi netizen yang tidak proporsional lagi. Hal inilah yang bisa menjelaskan sebagian fenomena pesan atau konten guyonan atau candaan yang akhir-akhir ini dibicarakan di jagat dunia maya di Indonesia.
Guyonan di Indonesia
Masyarakat Indonesia sangat suka dengan guyonan. Hal ini nampak juga dari seni tradisional semacam ludruk maupun wayang kulit di Jawa. Pada pagelaran Ludruk dan Wayang Kulit selalu ada segmen guyonan atau candaan. Komedian (dagelan) di pagelaran Ludruk dan dalang di pagelaran Wayang Kulit akan melontarkan candaan yang bisa memancing gelak tawa para penonton. Fungsinya memang untuk mengurangi ketegangan, membangun perekat antara dalang atau lakon dengan penonton, dan tidak jarang juga difungsikan sebagai kritik sosial maupun kritik pada sikap-sikap yang tidak terpuji.
Fungsi guyonan sebagai penurun ketegangan bisa menahan penonton tetap berada di arena pertunjukan, menunggu adegan selanjutnya dengan lebih santai dan nyaman. Fungsi guyonan atau candaan sebagai perekat sosial diantara dalang atau lakon dengan penonton memerlukan trik tersendiri. Seorang dagelan dan dalang perlu memahami sosial budaya penontonnya supaya guyonan atau candaan itu mudah ditangkap dan menimbulkan gelak tawa. Kegagalan menangkap nuansa, membuat guyonan menjadi garing. Fungsi guyonan sebagai kritik, menunjukkan budaya sopan santun masyarakat dalam konteks komunikasi tingkat tinggi. Oleh karena itu guyonan atau candaan itu secara tidak langsung juga mengekspresikan kreativitas sekaligus kebebasan berekspresi.
Namun, Indonesia yang terdiri dari beragam budaya ini menimbulkan kompleksitas lain. Guyonan atau candaan yang dapat diterima dalam satu kelompok etnis, satu kelompok agama, atau pun satu kelompok sosial bisa jadi akan menyinggung kelompok lain. Norma-norma budaya sebagai nuansa sebuah guyonan atau candaan akan sulit dianut secara universal.
Keruntuhan Nuansa di Ruang Digital
Sosiolog Danah Boyd (2010) memperkenalkan istilah keruntuhan nuansa (Contex Collaps) , yang menggambarkan apa yang terjadi ketika orang-orang berbagi konten daring, dan audiensnya terbagi menjadi satu kelompok besar yang heterogen.
Jika guyonan atau candaan di komunitas riil berakar kuat pada nilai-nilai, norma-norma, dan keakraban budaya yang sama akan dirasa “aman” karena yang melontarkan candaan itu berada dalam satu kelompok yang memiliki nilai, norma, budaya, referensi, dan emosi yang sama. Maka akan berbeda jika guyonan itu kemudian dibagikan melalui platform sosial media seperti Instagram, TikTok ataupun Youtube. Konten guyonan yang diunggah itu sangat memungkinkan akan dilucuti dari konteks aslinya, sesuai dengan keragaman warga dunia sosial media. Boyd (2010) menjelaskan bahwa “sosial media meratakan hierarki interaksi,” yang memaksa konten ditafsirkan tanpa nuansa yang dimaksudkan.
Etika Guyonan di Era Digital
Penetrasi media digital di Indonesia memang luar biasa. Melalui platform sosial media, netizen Indonesia menjadi sasaran potensial untuk pasar ekonomi, pasar politik, maupun pasar rekayasa sosial. Selain jumlah yang besar, juga tingkat literasi digital netizen Indonesia terbilang belum merata tinggi baik dari pilar etis, budaya, keterampilan, hingga keamanan digital.
Kondisi ini melekat pada berbagai pihak. Baik pengunggah konten, kreator konten, maupun viewers. Terkait dengan konten guyonan atau candaan, literasi etika digital paling relevan. Secara etis, semua netizen harus memastikan dirinya sebagai agen moral yang saling terhubung. Dengan kata lain juga harus memiliki kepekaan budaya sehingga bisa berpartisipasi secara proporsional.
Subjek konten seperti figur publik atau tokoh masyarakat perlu memahami kondisi literasi digital netizen Indonesia ini, sehingga lebih hati-hati dan waspada dalam setiap tindak tanduk serta tutur kata. Era digital dan keberadaan sosial media bisa menimbulkan terjadinya “kebocoran” suatu guyonan keluar dari kelompok budaya. Perlu disadari oleh figur publik ataupun tokoh masyarakat bahwa masih banyak pengikut yang memiliki literasi digital yang rendah. Edukasi literasi digital kepada pengikut menjadi penting diperhatikan oleh figure publik atau tokoh masyarakat.
Tentunya tidak hanya figur publik atau tokoh masyarakat yang bertanggung jawab terhadap literasi digital pada pengikutnya, melainkan tanggung jawab semua pihak. Lembaga Pendidikan juga bisa mengambil bagian melalui edukasi siswa di sekolah-sekolah. Organisasi sosial juga perlu peduli dengan literasi digital bagi anggota atau relawannya. Kita telah belajar banyak bahwa konten yang kehilangan nuansa akan menimbulkan respon yang tidak proporsional, bahkan berpotensi menciptakan hoaks serta menimbulkan polarisasi pro-kontra. Literasi digital perlu terus ditingkatkan.
———– *** ————–